Chapter 10 ~ Rumah Impian

225 12 0
                                    

Up Date : Fri, 29th July 2017

Hewwloo~! Telat up sehari gegara sibuk. Enjoy ;) 

***

Secercah sinar mentari pagi menyinari ruangan serba putih melalui sebuah celah kecil jendela yang tidak tertutup gorden. Sinar itu tepat mengenai wajahnya dan menyisakan rasa hangat. Ia mengerang dan menghembuskan nafasnya. Meregangkan tubuhnya sembari menguap. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya. Tapi kenapa yang dilihatnya selalu sama?

Hanya kegelapan pekat yang dilihatnya. Sekali lagi ia mengerjap, berharap bahwa kegelapan itu akan berubah menjadi sesuatu yang lain, entahlah, apa saja, selama bukan kegelapan yang dilihatnya. Tapi nihil. Berkali-kali ia mencoba hasilnya tetap sama. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia memejamkan kedua matanya dan dengan salah satu tangannya, ia memijit lembut kedua matanya. Baru diingatnya, ia buta. Sejak kemarin, hanya kegelapan inilah yang familiar baginya. Ia sedikit kesal karena otaknya berjalan begitu lambat. Kenapa ketika dirinya terbangun tadi, tidak langsung saja pikirannya berkata.

'Hei selamat pagi, tapi kau kehilangan penglihatanmu kemarin.'

Itu akan jauh lebih mudah baginya dibanding harus bertanya-tanya apa yang terjadi. Ia menghela nafas sembari meletakkan tangan di atas dahinya. Jadi, mulai sekarang, seperti inilah dirinya. Buta. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya ia menyangka bahwa ini akan terjadi. Oh, tidak. Ketika kecil bersama kakak laki-lakinya, ia pernah berpura-pura menjadi orang buta.

Ia memejamkan matanya dan berjalan sambil berusaha melakukan aktivitas dengan mata tertutup, dengan hanya kegelapan yang dilihat. Dan itu...berakhir dengan bencana. Berbagai benda ditabraknya, tidak satu pun aktivitas yang berhasil dilakukan. Kecuali merasakan sensasi berjalan sempoyongan dengan kedua tangan terjulur berusaha meraba-raba apa saja yang ada didepannya. Tapi itu berbeda, karena begitu membuka matanya, ia bisa melihat sekelilingnya. Melihat kamarnya yang luas, serta kakak laki-lakinya yang tertawa terpingkal-pingkal melihat dirinya menabrak berbagai benda. Kenangan itu membuat hatinya terasa pedih.

Kini berapa kali pun ia membuka matanya, hanya kegelapan, dan kegelapan itulah yang akan selalu dilihatnya. Kenapa hidupnya begitu miris?

Tunggu dulu, bukankah kemarin ia melalui hari itu bersama Lydia? Lydia kembali padanya. Ingatannya akan hari yang sudah berlalu tersebut satu-persatu mulai muncul dikepalanya. Sekarang ia mencoba untuk mencari-cari Lydia. Apa Lydia masih di ruangan ini? Apa Lydia tidur di sofa yang dikatakannya kemarin?

Suara seseorang yang menguap mengagetkannya.

"Hmmhh...? Leon?"

Itu adalah suara Lydia.

Lydia pun mempererat genggaman pada tangannya. Apa semalam Lydia tidak tidur di sofa itu? Lydia terus menggenggam tangannya sampai pagi. Ia pun menarik tubuhnya untuk duduk di ranjang. Dengan tangan kanannya, ia menyentuh tangan Lydia, dan meraba-raba mencari Lydia. Rambut Lydia yang lembut pun berhasil disentuhnya. Meskipun ia tidak dapat melihat, tapi ia dapat membayangkan bagaimana posisi tidur Lydia saat ini.

Duduk, dengan setengah badan bagian atas yang dibiarkan tertopang oleh ranjang, tempatnya tidur. Tangan kanan Lydia menopang kepala gadis itu, sedangkan tangan kiri Lydia menggenggam erat tangan kirinya, sesuai permintaannya kemarin. Dapat dibayangkannya betapa pegal leher Lydia saat ini dengan posisi tidur seperti itu. Dengan lesu ia menghela nafas.

"Lydia, tidurlah lagi." Gumamnya lembut seraya membelai kepala Lydia. Lydia pun lanjut tidur dengan nyenyak.

Jika Lydia-nya bangun, sudah pasti Lydia akan mulai mengurus dirinya. Lydia pun tidak akan melanjutkan tidur di sofa. Dengan penuh senyuman yang tidak bisa dilihatnya, Lydia akan tetap bangun dan menjaganya. Karenanya, ia meminta Lydia untuk tidur lagi, sebelum Lydia benar-benar terbangun. Wajah tidur Lydia, kapan ia akan benar-benar melihatnya?

Unseen Love (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang