Chapter 18 ~ Mark Julliard James

79 7 0
                                    

Up date : Thu, 24th August 2017

*******


Terkadang manusia bisa menjadi seperti sebuah spons cuci piring. Dirinya pun begitu, ia mengakuinya. Saat itu, bagaikan sebuah spons yang dituangi cairan pencuci piring, dirinya menyerap setiap perkataan Don tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Ia merasa hampir menyakiti Lydia karena pertanyaannya, dan hatinya pun sakit atas tuduhan tanpa bukti yang berkubang dalam pikirannya, tapi dirinya bersyukur apa yang dikatakan Don, maupun asumsinya, semuanya salah.

Don! Kalau kau datang aku akan memberimu pelajaran!

Umpatan itu selalu terulang dalam benaknya seperti kaset rusak. Mood-nya selalu terasa lebih buruk setiap kali ia mengingat sahabatnya itu. Don selalu mengatakan berbagai hal dengan kecepatan kereta api listrik, tanpa dipikir terlebih dahulu, entah berdasarkan fakta atau tidak, yang terpenting berbicara semua hal dengan secepat mungkin. Dan siapa orang bodoh yang menyerap semua kata-kata tidak berbobot itu seperti spons? Ia menghela nafas sembari menggelengkan kepalanya. Tapi semua sifat Don tidak menghentikannya untuk tetap bersahabat dengan pria tersebut.

Air dingin mengguyur tubuhnya memberikan kesegaran. Hari-hari ini terasa begitu damai sekaligus menyenangkan untuknya. Semuanya terasa bagaikan mimpi baginya, kehangatan yang Lydia berikan, setiap cinta yang tertuang dalam sesuap makanan yang dimasak oleh Lydia, jika memang semua ini mimpi ia tidak ingin terbangun. Hari ini sekali lagi Lydia mengejutkannya. Gadis itu memutuskan untuk berkerja. Suatu hal yang tidak pernah disangkanya untuk keluar dari mulut Lydia.

Sempat pikiran bahwa gadis yang dicintainya itu tidak serius ketika memutuskan untuk bekerja, tapi ia tahu bahwa Lydia serius. Ia tidak bisa melarang Lydia, apa yang bisa dilakukannya? Selama dirinya buta ia tidak bisa melakukan apapun. Hatinya terasa berat setiap kali mengingat kebutaannya. Dipejamkannya matanya, membiarkan gemercik air yang dingin membasuh setiap massa yang memberatkan hatinya, mengalirkan semua hal itu ke dalam lubang pembuangan. Hari ini ia harus bisa terbiasa dan menerima kondisinya, begitu ucapan Evelyn di telepon tadi. Wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu itu menyemangatinya dengan suara menggelegar yang khas.

Ia harus bisa menerimanya.

".....Tidak ada yang tahu kapan kau akan mendapatkan donor, kau harus bisa menyesuaikan diri dan menerima kondisimu."

Ujar Evelyn.

Apa dirinya yang masih belum bisa menerima kondisinya ini begitu jelas di mata orang lain? Ia hanya berharap agar Lydia tidak melihat sisi dirinya yang selalu merasa frustasi setiap kali kenyataan menampar.

Hari ini ketika Lydia pergi mencari pekerjaan, ia akan bersama Evelyn mengunjungi makam Mark. Terbayang kembali dalam benaknya potongan-potongan ingatan di hari itu. Hari dimana tubuh Mark terkubur dalam perut bumi.

***

Setelah perseteruan dengan ayahnya di rumah sakit, tiga hari kemudian adalah upacara kematian Mark. Ia mengetahui semuanya dari salah seorang mantan karyawannya yang akan menghadiri acara tersebut. Pagi itu langit mendung, semendung hati setiap orang yang berdiri mengelilingi sebuah peti berwarna coklat kehitaman. Warna abu-abu yang tertempel di langit seakan turut berduka dengan kematian kakaknya. Satu persatu rintik hujan mulai berjatuhan membasahi ujung rambutnya, hingga meninggalkan bercak basah di bajunya. Langit yang turut menangis tidak menghentikan tangis seorang pun disana, maupun membuat mereka melangkah menjauh mencari peneduh. Setangkai demi setangkai mawar putih diletakkan diatas peti mati Mark oleh setiap pelayat. Hingga semua orang tidak menggenggam apapun ditangan, barulah Conrad James, ayahnya mendekat ke peti putra sulung pria itu.

Unseen Love (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang