Ia merasakan sentuhan yang selama ini didambakannya. Sentuhan yang ia rindukan. Suara khas yang ingin ia dengar. Namun dalam sekejap semua itu sirna. Hampa dan kegelapan mulai merayapinya sampai suara itu terdengar kembali. Memanggil dirinya berulang-ulang, sentuhan itu kini semakin keras berulang-kali mengguncangkan lengannya yang sudah tak bertenaga lagi.
Ia benar-benar senang, di hari berhujan ketika ia berpisah dengan cinta dalam hidupnya, ia hanya bisa menyesal. Kalau ia tahu perasaannya akan sekacau ini tanpa kekasihnya, maka dihari itu ia akan berpaling dan berbalik membawa kekasihnya pulang. Tapi tekad dan egonya kala itu membunuh perasaannya. Ah, mungkin saat itu memang perasaannya sudah mati. Siapa yang tahu jika hanya dengan suara perasaan itu bisa hidup kembali? Timbulah keinginan itu dalam dirinya, keinginan untuk melihat kembali cintanya yang ternyata hanya sebuah harapan yang Tuhan - pun tidak sudi untuk mengabulkan. Namun sekarang, cintanya tersebut sudah ada didepannya. Kembali padanya yang sudah tak berdaya ini. Ingin dirinya membuka paksa kelopak matanya yang terasa sangat berat.
Ia berusaha sekuat tenaga, namun gelap gulita yang dilihatnya. Ia hanya bisa merasakan sentuhan dan mendengar suara dari orang yang dikasihinya. Dengan sisa tenaga terakhir, dicobanya menggerakan tangannya, dan menerka-nerka wajah wanita dihadapannya. Seakan sebuah takdir ia berhasil menyentuh pipi wanita yang selalu ia impikan tersebut meskipun hanya dalam kegelapan.
"Kau kembali untukku." Gumamnya sangat pelan sehingga tidak seorang pun disana yang mendengarnya.
Dikumpulkannya tenaga yang masih tersisa didalam dirinya dan dengan lemah ia berkata,
"Lydia? Apakah ini benar-benar kau?"
Ia bisa merasakan kebingungan yang terpancarkan dari wanita dihadapannya ini. Tapi ia sangat yakin bahwa wanita itu adalah cintanya, Lydia.
Namun Lydia tidak merespon pertanyaannya. Ingatannya akan hujan deras dan sosok Lydia yang mulai menjauh darinya kembali terulang. Ketakutan mulai merayapinya, ia takut apabila hal itu terjadi lagi. Berusaha dengan tenaga terakhirnya, ia berteriak dengan harapan Lydia-nya bisa mendengar dan menjawabnya.
"Lydia? Lydia? Apa kau masih disini? Kumohon katakan sesuatu!"
Ia mendengar keributan, ia masih bisa merasakan bahwa Lydia masih berada didekatnya. Seseorang mulai mengangkat dan menopang tubuhnya untuk berdiri. Tapi ia tidak mempedulikan tentang dirinya. Ia hanya tidak ingin kehilangan Lydia sekali lagi.
Suatu kejaiban ketika Tuhan memberikannya tenaga yang lebih untuk tetap menggenggam erat tangan cintanya, Lydia. Dan suatu anugrah ketika orang yang paling dikasihinya, orang yang paling dinantinya, tidak menepiskan tangannya seperti dulu. Meskipun hanya gelap gulita yang dilihatnya saat itu tidak menjadi masalah selama Lydia tetap ada disisinya.
Ia merasakan bagaimana dirinya yang lemas itu direbahkan di atas sebuah ranjang dengan roda-roda sebagai kaki dan didorong masuk ke suatu tempat. Secepat apapun orang-orang itu mendorong ranjangnya, ia tidak akan melepaskan tangan Lydia. Bahkan ketika di ruangan itu Lydia diminta untuk keluar dari ruangan.
"Biarkan dia tetap disini." Ucapnya dengan tegas.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh dokter dan perawat di ruangan itu selain mengikuti permintaannya.
Ia masih merasakan tangan Lydia didalam genggamannya ketika dokter mulai melakukan pemeriksaan dengan matanya. Ia cukup panik karena tidak dapat melihat apapun ketika dokter melakukan suatu tes terhadap matanya. Namun didengarnya bisikan yang lembut bersamaan dengan usapan lembut penuh kasih sayang di tangannya,
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja."
Hanya dengan beberapa kata dari cintanya sudah cukup membuatnya jauh lebih tenang.
"Nona, bisa kita bicara di luar sebentar?" Didengarnya dokter itu mulai berbicara dengan Lydia.
"Umm...."
"Bicarakan saja langsung disini." Ucapnya dengan tegas.
"Baiklah. Ini mungkin akan membuat anda shock, tapi berusalah untuk tetap tenang. Kami juga akan berusaha untuk menemukan solusinya. Anda mengalami demam yang tinggi, selain itu saya juga menemukan kondisi yang aneh pada mata anda. Ini adalah sebuah penyakit genetis dimana anda akan kehilangan penglihatan anda secara perlahan-lahan. Dilihat dari kondisi anda yang sekarang, dengan berat hati saya katakan bahwa anda sudah kehilangan kedua penglihatan anda. Dan diperlukan donor kornea agar anda dapat melihat kembali." Terang dokter tersebut.
Mendengar penjelasan dokter itu ia merasa sedikit kaget, tapi hal ini sudah diduganya. Ia tersenyum sambil berkata,
"Ini adalah harga yang harus kubayar untuk mendapatkan kembali cintaku.." Ia mempererat genggaman tangannya.
Dan ia pun melanjutkan,
"Bagiku tidak masalah kehilangan penglihatanku selama orang yang paling kucintai di dunia ada disisiku. Lagipula aku masih memiliki kesempatan untuk bisa melihat kalau kalian sudah menemukan donor lagi 'kan? Jadi ini tidak masalah bagiku." Sahutnya dengan santai.
Mendengar pernyataannya seisi ruangan tersebut menjadi hening.
"I..itu adalah reaksi paling positif yang pernah kulihat." Kata dokter tersebut memecah keheningan.
"Baiklah kalau begitu, ada urusan administrasi yang harus dilakukan di front office . Bisa ikut dengan saya... Nona Lydia?"
"Baiklah, saya akan segera kesana."
Dokter dan perawat pun meninggalkan Lydia dan dirinya di ruangan itu. Hanya berdua. Ia benar-benar senang, meskipun ia tidak bisa melihat lagi tapi Lydia bersedia untuk tetap berada disisinya. Apa benarkah?
"Apa kau tidak merasa takut sedikit pun? Dokter baru saja bilang kalau kau sudah tidak bisa melihat."
Ada nada panik dan khawatir yang ia dengar dari suara Lydia. Ia menyunggingkan senyum terbaik yang ia punya kehadapan Lydia.
"Aku akan baik-baik saja selama kau tetap disisiku. Aku benar-benar bahagia kau memutuskan untuk kembali padaku. Sejak hari berhujan itu, aku benar-benar menyesali perbuatanku padamu, harusnya aku tidak melakukan hal tersebut. Aku....sudah membuatmu takut."
Lydia hanya merespon kata-katanya dengan senyuman yang tidak bisa dilihatnya.
"Ah, aku harus segera pergi dan melakukan urusan administrasi. Kurasa itu tentang biaya pemeriksaan dan sewa kamar."
"Benar juga. Ambillah dompetku di saku kiriku, dan gunakan saja kartu yang seperti biasa."
Ia merasakan tangan Lydia masuk kedalam saku celananya dan mengambil dompet miliknya. Lama Lydia tidak mengatakan apapun.
"Apa kau sudah menemukannya?"
"Umm...seperti biasa?"
"Yaa, ada apa denganmu? Gunakan kartu yang berwarna biru."
"Oh iya, oke aku menemukannya. Umm... Bisakah kau melepaskan tanganku? Kau tahu aku harus keluar dari ruangan ini."
"Kenapa kau terdengar gugup? Aahh, aku sebenarnya enggan melepaskan tanganmu. Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku lagi."
Meskipun dengan banyaknya janji yang diingkari, tidak membuatnya berhenti untuk membuat janji-janji berikutnya dengan orang yang sangat dicintainya itu.
"Um..hum. Aku berjanji."
Ia pun melepaskan tangan Lydia dengan sangat pelan. Dengan janji yang dipegangnya, merupakan satu-satunya modal untuk dirinya berharap cintanya, Lydia tidak akan pergi lagi meninggalkannya seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen Love (SUDAH TAMAT)
RomanceMy very first story on wattpad. 'Our Love' Series #1- UNSEEN LOVE - Status : TAMAT - Lydia James Ingatan adalah sesuatu yang berharga bagi setiap orang. Tanpa mempedulikan fakta itu, sesuatu yang berharga tersebut, terselip dari genggamannya. Ident...