19. Para Penghuni Neraka (2)

39.7K 2.3K 30
                                    

"Dan mereka berkata, Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala."
(QS. Al-Mulk 67: Ayat 10)


Suara lantunan ayat-ayat Allah terdengar oleh Asfa dikeheningan fajar. Asfa memandang kosong pantulan dirinya yang berada kamar. Suara itu, menenangkan. Namun, ia merasa kegundahan dan rasanya sangat segan untuk mendengarnya. Ia sangat ingat surat yang lantunkan oleh Nazmal. Surat itu sering Nazmal bacakan saat Asfa sedang tidur. Asfa tahu, setiap malam Nazmal sering membaca surat itu sambil memandangnya. Memandang dengan begitu lekat. Hingga, Asfa pun sering terkejutkan jikalau ia bangun wajah Nazmal sampai begitu dekat dengan dirinya.

Kemarin, Nazmal menemukannya. Bahkan sebelum ayahnya menghubungi Nazmal pun lelaki itu langsung menemukannya. Entah, firasat Nazmal selalu benar. Sampai saat ini mereka tak saling sapa. Asfa diam, dan Nazmal pun ikut diam.

Surat Ar-Rahman pun akhirnya selesai dibaca Nazmal. Sebenarnya Asfa dan Nazmal tidak berada dalam satu ruangan yang sama. Namun, suara Nazmal bisa terdengar dalam beberapa meter.

Suara notif pesan terdengar beberapa kali di ponselnya. Sebelum Asfa mengambil ponselnya, tiba-tiba suara ketukan yang terdengar.

"Assalamu'alaikum, dek. Mas berangkat kerja dulu, mas juga udah siapin nasi goreng buat sarapan kamu. Mas ... berangkat yaa," ucap Nazmal sedikit serak.

Asfa tahu, sejak Nazmal membaca surat Ar-Rahman sejak shubuh, itu semua terdengar memilukan. Nazmal menangis, dan Asfa bisa mendengarnya.

Setelah suara Nazmal tidak terdengar lagi, Asfa meraih ponselnya. Ia melihat 2 notif dari Faris. Ia menelpon Asfa tadi.

Faris Risyadi: Fa, jawab telepon. Aku tau kamu kenapa-kenapa.

Cepat sekali lelaki itu bisa mengerti keadaannya. Asfa padahal sama sekali tidak pernah memberitahu keadaannya pada Faris. Sudah 6 tahun Faris mengenal Asfa, dan Faris pun bisa tahu apa yang terjadi dengan Asfa. Firasat Faris terhadap Asfa ... terlalu sensitif.

Hingga, Faris pun tiba-tiba menelponnya. Dengan ragu-ragu Asfa pun mengangkat teleponnya.

"Hallo?" ucap Asfa pelan.

"Asfa? Kamu kenapa? Aku tahu kamu kenapa-kenapa," ucap Faris khawatir.

"Aku baik-baik aja."

"Baik-baik aja? Aku serius, Fa. Jujur, kamu kenapa?" Faris semakin khawatir saat suara Asfa mulai serak.

"Aku enggak apa-apa, Ris."

"Fa, walaupun kamu bilang enggak apa-apa aku bisa tau kalau kamu itu kenapa-kenapa. Aku udah kenal kamu 6 tahun, jadi aku bisa punya firasat kalau kamu lagi enggak baik. Dan bisa kamu dengar? Suaramu serak, Fa."

"Serak bukan berarti aku nangis, Ris."

"Jangan mengelak, Fa."

"Please, jangan ganggu aku saat ini dulu."

"Oke, aku pergi ke rumahmu saat ini juga." Faris tiba-tiba langsung menutup panggilan.

Asfa menghela nafasnya. Ia mengusap wajahnya frustasi. Jika Asfa tahu bakal begini, lebih baik ia tidak menelpon Faris. Lelaki itu sangat protective. Ia sangat menyadari itu sejak berpengalaman menjadi pacarnya dulu. Rasa cinta Faris pada Asfa sangat besar, dan Asfa tahu itu.

Ia merindukan masa-masa dulu.

Hari itu, hujan. Asfa menutup kepalanya memakai tangan, begitu juga dengan Faris. Mereka berlarian mencari tempat peneduhan dari derasnya hujan. Baru saja mereka akan sampai komplek rumah, namun awan sudah terburu menjatuhi rintikan air yang jatuh berkali-kali.

Izinkan Aku MemilikimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang