#58

3.7K 239 7
                                    

Malam semakin larut, dan kami sudah memasuki area Bandung. Jalanan kota Bandung masih saja ramai walau ini sudah tengah malam.

"Sebaiknya kita mencari tempat istirahat." Kak Leon memecah keheningan, dan tanpa malu aku mulai menguap.

"Hotel Ocean."

"Apa?"

"Sebaiknya kita menginap di Hotel Ocean. Mungkin kau bisa mengingat sesuatu di sana, dan tidak lagi menggangguku."

"Kenapa menurutmu aku bisa mengingat sesuatu di sana? Apa di sana kita..."

"Hentikan pikiran kotormu! Kita tidak pernah melakukan apa-apa." Desisku kesal.

"Tidak pernah melakukan apa-apa? Berapa lama kita pacaran?" Ia menatapku dengan tatapan menilai.

"Aku tidak akan menjawab apa pun lagi. Ingat saja sendiri!!"

Setelah itu kami tidak bicara apa-apa lagi. Hanya suaraku yang memberikan arahan jalan, karena Kak Leon sama sekali tidak mengenal jalanan Bandung. Aku menghindari jalanan macet, dan tiba-tiba tercekat saat kami akan melewati tempat kecelakaan kami.

"Tunggu." Setelah ucapanku, Kak Leon menghentikan mobilnya. Dengan ragu-ragu aku turun dari mobil, dan menatap jalanan itu...

"Hei, kenapa?" Kak Leon mengikutiku, dan aku bisa merasakan keberadaannya di belakangku. Ingatan malam itu kembali dengan cepat, pembicaraan terakhirku dengannya, kami sedang menata masa depan kami bersama, tapi dalam sekejap semuanya hilang.

"Hei..." Ia mengguncangkan bahuku, dan aku terkesiap, berusaha mengendalikan emosiku. Entah sejak kapan, ia sudah ada di depanku. Aku bisa menatap wajahnya saat aku tersadar dari mimpi buruk itu.

"Sori..." Aku menekan dahiku dengan punggung tanganku, merasakan keringat mulai membasahi keningku. Aku menyentuh luka jahit di dahiku, luka yang belum hilang sampai sekarang, dan terkadang aku masih merasakan sakit di kepalaku. Dokter mengatakan aku sudah baik-baik saja, dan serangkaian tes untuk mengetahui penyebab sakit di kepalaku sudah berulang kali dilakukan, tapi dokter tidak menemukan apa pun. Dokter mengatakan mungkin faktor psikologis yang menyebabkan sakit di kepalaku.

Kadang aku terbangun di tengah malam karena sakit yang luar biasa di kepalaku, dan sekarang aku merasakannya kembali. Kepalaku serasa di tekan dengan kuat.

"Lo gpp? Lo sakit? Hei..." Suara Kak Leon semakin menjauh, dan sebelum aku menutup mata, aku merasakan tubuhku melayang.

---

"Tolong, dia tiba-tiba saja pingsan!" Leon berlari sambil menggendong Rachel setelah menurunkannya dari mobil. Beberapa perawat dan petugas rumah sakit langsung membantu Leon.

"Sudah berapa lama dia pingsan, Pak? Apa Bapak walinya?"

"Kira2 20 menit yang lalu. Saya..." Leon tidak meneruskan ucapannya? Ia bahkan belum bisa memutuskan hubungan apa yang dimilikinya dengan wanita itu.

"Saya... temannya." Jawab Leon akhirnya.

"Bapak bisa isi dulu formulirnya dan langsung mengurus administrasi di sebelah sana, Pak." Leon mengangguk, masih kebingungan dan langsung mengeluarkan kartu kreditnya. Setelah semua urusan administrasi selesai, ia menemui seorang dokter yang ia lihat menangani Rachel.

"Bagaimana, dok?"

"Kamu yang mengalami kecelakaan bersamanya beberapa bulan lalu, bukan?" Ucapan dokter itu membuat Leon menegang. Kecelakaan? Ia memang mengalami kecelakaan, tapi bukan di Indonesia, ia mengalami kecelakaan di New York, dan ia di rawat di rumah sakit di sana.

"Tidak, dok. Dokter mungkin salah orang." Jawab Leon lagi akhirnya.

"Salah orang? Aku yang menangani luka-lukamu saat kalian di bawa ke sini. Luka di kepalamu cukup parah, dan kamu mengalami pendarahan yang cukup parah."

"Saya di rawat di sini?"

"Iya, kamu sempat di rawat di sini selama 3 hari, lalu pihak keluarga memindahkanmu ke rumah sakit di New York."

"Saya mengalami kecelakaan bersama wanita itu?" Dengan perlahan Leon menanyakan hal itu, ia tidak percaya bahwa ia akan menanyakan hal itu. Ia tidak percaya bahwa hatinya mulai meragukan Amanda dan semua orang di dekatnya. Siapa yang harus ia percaya?

"Iya, tapi Rachel tidak mengalami luka parah, tapi luka di dahinya harus di jahit. Sedangkan kau.."

"Jadi bagaimana kondisinya sekarang? Kenapa dia tiba-tiba pingsan?" Ucap Leon memotong perkataan dokter tersebut. Ia sudah tau apa yang terjadi padanya, bahkan luka akibat kecelakaan itu membuatnya tidak bisa mengingat apapun.

"Rachel tidak apa-apa, dia memang pernah mengeluh kalau terkadang ia masih merasakan sakit di kepalanya, tapi tidak ada yg salah dengan kepalanya. Aku menganjurkannya untuk menemui psikiater. Mungkin ia mengalami trauma yang cukup berat. Setelah sadar, ia sudah boleh pulang." Dokter yang mengangani Rachel menepuk lembut bahu Leon dan meninggalkan Leon. Leon berjalan menuju kamar rawat Rachel, dan masuk ke dalam. Ia melihat wanita itu sedang tertidur dengan tenang.

Leon menyibak rambut Rachel yang menutupi dahinya, dan melihat bekas luka Rachel akibat kecelakaan itu.

"Kamu benar-benar menakutiku, Milla. Apa aku sudah gila?"

"..."

"Aku ingin segera keluar dari labirin ini, tapi sepertinya kamu tidak akan membantuku. Apakah aku harus tetap menjadi orang bodoh?"

"..."

Leon mendengar bunyi handphonenya, dan ia menatap nama yang tertera di layar handphonenya cukup lama. Amanda... Tunangannya... Wanita yang selalu ada di sampingnya, membantunya melewati masa-masa sulit, mendukungnya saat ia hampir ingin menyerah, membuat harga dirinya kembali utuh, sampai ia bisa menegakkan kepalanya kembali.

Ia bisa dengan percaya diri kembali ke Indonesia, mengurus bisnis Wirajaya, dan ia bisa menunjukkan kemampuannya kepada para pemegang saham.

Dan ketika pikirannya memintanya untuk segera mengangkat telepon dari Amanda, lalu meninggalkan semua ketidakpastian ini, dan kembali ke rumah tanpa memikirkan apapun, ia mendapati dirinya me-reject telepon dari Amanda, dan mematikan handphonenya.

Ia memasukkan handphonenya ke saku celananya, duduk di dekat ranjang Rachel, menatap wajah wanita itu, menunggunya terbangun.

My Not So Little GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang