Thirteen

3.7K 431 1
                                    

BUT THE EMPTY AIR ECHOES
Tetapi udara yang kosong menggema


Taehyung POV

"Ya bukankah kita hari ini akan pergi ke pesta ?"

Jimin bertanya menyadarku dari lamunanku. Kelas masih belum berakhir. Profesor masih menjelaskan tentang public interest dan sebagainya entahlah itu tidak masuk dikepalaku.

"Ha? Pesta siapa?" aku bertanya kaget. Siapa dia yang berpesta itu.

"Heei.. putra perusahaan E, teman kita waktu SMA. Bukankah kalian bertemu waktu....."

"Ah ya ya ya aku ingat."

Aku menjawab dengan nada kurang bersemangat. Mungkin Jimin tidak menyadarinya. Tapi entah kenapa hari ini perasaanku aneh. Ada sesuatu yang mengganjal dari dalam hatiku.

Kami berdua terdiam beberapa saat hingga akhirnya aku menyadari kalau Jimin sedang menatapku intens.

"Wae? Aku tampan?" aku mencoba bercanda. Jawaban yang kudapat membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Sayangnya, ini masih dikelas.

"Ne kau tampan. Sayangnya kau bodoh."

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sambil masih tersenyum. jarumnya menunjukkan pukul empat sore. Beberapa menit lagi kelas berakhir, batinku.

"Taehyung ah."

"Wae?"

"Aniya. Nanti saja."

Aku melirik kearah Jimin, kenapa bocah ini. Mengajak bicara tapi malah menggantung begitu.

Sudah lima belas menit aku menunggu Jimin yang belum segera kembali dari menelpon seseorang. Aku tahu dia sedang menelpon seseorang, yang spesial baginya, tapi bagiku aku masih bingung kenapa Jimin tertarik dengan orang itu.

"Jimin sudah selesai dramanya?" aku bertanya saking lama nya dia meninggalkanku sendirian di kedai minum dekat gedung kampusku.

Dia datang dengan senyum lebar dan mata menyipit. Sangat cute dan seratus delapan puluh derajat berbeda dengan wajahnya yang ada di majalah majalah. Kami seumuran tapi aku merasa dia lebih awet muda dibandingkan diriku.

"Ya masalah berakhir. Hahaha aku lega akhirnya. Ya Tae, kini giliranmu."

"Giliran apa?" aku bingung. Namun dia malah senyum-senyum sambil duduk di sebelahku.

"Hah kenapa aku punya teman bodoh sepertimu. Waeeee waeeee."

Dia menghentakkan kakinya ditanah seperti anak kecil. Aku otomatis memukul kepalanya, bukan karena dia mengataiku bodoh. Tapi karena hentakannya menginjak kakiku.

"Appo......" dia mendelik.

"Hehehe mian. Katakan apa maksudmu."

Dia diam sebentar. Aku menunggu. Dengan tidak sabar.

"Hmmmmm kau menyukai Jennie kan?"

Pertanyaannya menghujam, aku tahu itu hanya perlu dijawab ya atau tidak. Tapi kenapa aku merasa sulit. "Aku... hmmmm aku...."

"Hei jangan membohongiku. Aku tahu kau menyukai Jennie. Beberapa hari ini aku sering memperhatikan kau melihat Jennie dengan tatapan yang berbeda. Kau tersenyum kepadanya dengan cara yang berbeda."

Benarkah aku begitu. Pertanyaan itu muncul begitu saja dari dalam benakku. Aku menyukainya? Mungkin tidak.

"Tidak juga. Dia sudah punya pacar."

Aku menjawab sendiri, namun aku merasa dadaku nyeri menyebut Jennie sudah punya pacar. Benar, mana mungkin dia memilihku, lelaki aneh dengan mental tidak stabil sepertiku dibandingkan dengan pacarnya yang tampan, dan cerdas itu.

Tomorrow, Please Stay.  ●  Taennie ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang