Keputusan

222 20 0
                                    

  31 April 2017.

  Seperti apa yang direncanakan dan di tentukanya sendiri.

  Vian bersama Arvi, papahnya berada di ruang Rawat Inap VVIP milik Vian.

  Disana,Vian duduk di kursi roda dengan infuse di tanganya. Vian memandangi cahaya mentari pagi ini.

  "Pah, apa matahari bisa pergi meninggalkan dunia ini? Sama kayak Vian?"

  Arvi memperhatikan putranya dari belakang dengan tatapan kesedihan.

  Sejak semalam, dia tidak ingin tidur. Selalu ingin melihat Vian, takut kalau Vian akan pergi meninggalkanya. Hal itu juga di lakukan Kalania.

  "Kalau matahari gak menyinari dunia ini lagi, maka semuanya akan mati Vian. Sama kayak kamu, kalau kamu pergi, meninggalkan kami semua, kami akan..."

  Arvi menahan tangisanya dengan telapak tanganya.

  "Vian janji, Vian akan seperti Matahari. Walaupun jauh, Vian selalu memperhatikan kalian semua dan menyinari kalian semua.
Vian gak akan pernah ninggalin kalian, itu janji Pah..."

  Vian memutar kursi rodanya,memperhatikan Papahnya yang mulai menangis lagi.

  Semalaman, Papah-Mamahnya menangisinya atas keputusan yang Vian ambil sendiri dalam hidupnya.

  "Ehm, pah... Gimana mamah? Apa mamah masih setuju?"

  Arvi menggelengkan kepalanya lemah, sambil menundukan kepalanya ke bawah.

  "Biar papah yang yakinin mamah kamu" Arvi meyakinkan Vian. "Makasih pah"

  Arvi berlalu meninggalkan Vian, menuju ruangan dokter Kalania untuk membicarakan hal ini.

➕ ➖ ➕


  Dokter Kalania tengah duduk di kursi ruangan pribadinya, sambil memandangi Amplop di tanganya.

  Lalu suara pintu terbuka, dan telihat Arvi tengah menatapnya dari ambang pintu.

  "Jangan paksa aku, untuk melakukan hal di luar kemampuan"

  Arvi berjalan mendekat kearah Kalania, lalu memeluknya dan meyakinkanya lebih baik lagi.

  "Aku tau, tapi bukanya itu pilihanya sendiri?" Arvi melepaskan pelukanya lalu menatap Kalania sambil tersenyum.

  "Kita gak pernag membahagian anak kita sendiri, jadi biarkan dia bahagia dengan permintaanya, apa salahnya kita mengabulkanya?"

  "Aku gak bisa..." Dokter Kalania menangis.

  "Kamu bisa,aku yakin" Arvi menyeka air mata dokter Kalania.

  Lalu Arvi berbisik di telinga dokter Kalania dengan lembut.

  Jangan menyiksa dia seperti ini... biarkan dia pergi, aku yakin itu yang terbaik.

  Setelah mendengar bisikan dari Arvi, dokter Kalania menangis sambil meremas Amplop di tanganya.

  "Apa Vian bakal bahagia?" Dokter Kalania menatap Arvi dengan tatapan sedihnya.

  "Tentu, jika kamu yang melakukanya. Dia akan sangat bahagia Nia..." Arvi tersenyum meyakinkan Kalania.

  "Kamu mau kan? Lakuin itu untuk dia?" Tanya Arvi sekali lagi.

  "I...ya" Dokter Kalania menganggukan kepalanya lemah sambil menyeka air matanya. "Makasih Nia" Arvi tersenyum lemah.

Perfect & BadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang