Aldan Dwi Chandra. Karna sudah resmi menjadi keluarga ini, namanya menjelma menjadi Aldan Almahendra. Abang jadi-jadian yang berhasil ngalahin pamor gue di rumah ini.Zidan almahendra
***
Hembusan angin membelah malam dengan lembut. Menelusup masuk ke sela-sela jendela dan menyingkap gorden sebuah kamar bernuansa Chocolate. Sedikit mengacak surai si empunya kamar yang tengah bergelut di atas ranjang.
"Geserlah sedikit bodoh! Badanmu kebesaran."
Pemuda yang mengenakan kaos hitam bergambar taez mania, dengan kesal mendorong-dorong tubuh pemuda lain di sampingnya yang lebih sibuk bermain ponsel. Adik angkatnya memang senang sekali berulah, padahal tampak jelas Springbad yang mereka tempati masih muat untuk tubuh mungilnya.
"Apa loe gak bisa diam? Salah sendiri tubuh loe kecil."
Dengan geram, Zidan lantas melemparkan bantal tepat kewajah pemuda di sampingnya. Ia bahkan tak peduli walau umur mereka terpaut jauh. Yakni, 5 tahun.
"Gue emang harusnya gak tidur sekandang sama jerapah kayak loe."
"Bukannya wajar kalau sesama binatang tidur sekandang?"
"Apa maksud loe sesama binatang?" Zidan mengernyit.
"Iya, Jerapah dan Monyet yang tidur dalam satu kandang."
Aldan berucap santai sambil menyingkirkan bantal yang nangkring di wajah tampannya. Menatap wajah Zidan yang mulai memerah."Jadi loe nyebut gue mo.."
"Terus hewan apa lagi yang suka berulah kalo bukan monyet? Itu lebih baik daripada gue sebut loe Orang hutan."
Aldan terkekeh geli melihat wajah adiknya telah semerah tomat, lengkap dengan bibir tipisnya yang menciut lucu.
"Sialan loe.."
Zidan yang terlanjur kesal, bersiap untuk menerkam tubuh besar di sampingnya. Namun, ia kalah cepat. Aldan sudah lebih dulu memiting lehernya, dan menjadikan surai lebat itu sasaran empuk untuk ia jitaki dengan brutal.
"Loe mau apa bocah.. Hemm? Loe gak akan bisa menang sama gue sekalipun di Sekolah loe juara tawuran."
Tubuh mungil itu terus berontak, berusaha melepaskan diri dari belenggu Aldan. Sesekali ia memukuli lengan yang melingkari lehernya dan menendangi sprei kasur.
"Itu namanya duel bodoh."
"Sama aja berantem juga dodol."
"Jangan samain gue sama makanan lengket yang bisa loe kunyah se-enak gigi loe!"
Aldan tertawa singkat mendengar protesan unik dari pemuda di sampingnya.
"Gak ada yang lucu bodoh."
"Panggil gue kakak.. bocah!!"
"Ogah."
Zidan berontak lebih keras, dan berhasil. Ia sudah akan membalas perbuatan sang kakak, saat tiba-tiba tubuhnya tertarik ke belakang. Menerima serangan lanjutan. Sebuah teriakan langsung mengudara."Aaarrghh..!! Remuk badan gue bodoohh..!"
Baiklah, biarkan dulu dua saudara itu perang di atas ranjang. Kita kembali dulu ke-tigabelas jam yang lalu..
Flashback*
"Gue gak mau tidur sekamar sama orang ini!"
Sarapan pagi yang harusnya berlangsung nikmat, justru berubah menjadi ajang adu mulut antar ayah dan anak. Makanan yang tersaji seakan ingin menangis dan meraung karna tak kunjung disantap.
"Gak ada protes! Atau kamu tidur di luar."
Selaku kepala keluarga, Almahendra berusaha bersabar dan tetap berlaku tegas dihadapan kedua putranya. Terutama putra kandungnya.Mendengar jawaban yang menurutnya, tidak adil. Zidan hanya mampu mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam sang ayah, dan mendengus kesal. Ia sudah akan membanting sendok dan garpu ditangannya ke lantai. Hingga intruksi tercetak di kepalanya.. 'Sabar Zidan.. Ingat! Orang tua itu adalah ayahmu.. Orang tuamu satu-satunya. Hormati dia!!'
Flashback end*
- 📖📖📖
Cahaya kekuningan merambat naik ke..
"Cepet dong woi! Loe ini lagi mandi apa kampanye?"Openingnya belum selesai Zidan, bisa sabar gak sih?..*kesal*
Lagi dan lagi, kegaduhan seakan tiada habisnya. Di dalam rumah berlantai dua namun bernuansa teduh dan terkesan sederhana. Setelah aksi gelut ranjang malam tadi, pagi itu Zidan tampak menguap lebar di depan pintu kamar mandi. Handuk hitampu sudah nangkring di pundaknya, lengkap dengan rambut berantakan dan wajah kucel khas bangun tidur.
Terhitung sudah satu jam lebih ia dalam posisi itu.Puk!!
"Makanya melek dek! Gue udah kelar mandi sejak setengah jam yang lalu."
Zidan cengo, berpikir sejenak. Detik berikutnya ia hanya ber-oh ria sambil manggut-manggut, langsung ngeloyor masuk.
-
Usai mandi dan bersiap. Pemuda bermata sayu yang telah rapi dengan seragam putih abu-abu, melintasi ruang makan. Tumben sepi, pikirnya. Iapun berhenti sejenak, mendapati Aldan baru keluar dari dapur dengan membawa sebotol pulpy orange.
"Ayah mana?"
"Ayah sama mama bulan madu ke Korea."
"Oh."
Aldan memandang heran adiknya. Sejak tadi hanya dua baris huruf itu saja jawaban yang ia ucapkan, berbeda sekali dengan malam tadi. Ia tak tau saja, sebenarnya dalam hati Zidan sedang ngomel-ngomel kesal.
'Dasar orang-orang tua. Gue ditinggalin berdua dengan orang menyebalkan ini, dihajar habis-habisan lagi gue. Lah, mereka malah pacaran. Di Korea lagi, dasar gak gaul. Guekan juga pengen. Mereka tuh pantesnya bulan madu di hutan Amazon.'
"Gue berangkat."
Puas mendumel, ia kembali melangkah menuju pintu."Gak sarapan Zid?"
"Di Sekolah."
"Gak mau gue anter?"
"Siapa loe? Kenal aja gak."
Aldan berdecak. "Ternyata adik angkat gue menderita Amnesia sementara"
Ditatapnya kembali punggung Zidan yang semakin kecil dan akhirnya tertelan pintu. Dulu ia memang ingin sekali punya adik laki-laki, terlebih saat ayah dan adik perempuannya tewas di dasar jurang karna menghindari kecelakaan. Namun setelah ia melihat betapa bengal adik angkatnya. Lantas, apakah ia harus menelan bulat-bulat keinginan itu? Tidak. Aldan bahkan langsung tertarik saat bertemu dengan Zidan pertama kali, walau penolakan keras harus ia terima.
Menurutnya, Zidan itu lucu dan imuet dengan tingkah tengilnya. Jika ia ditakdirkan menjadi wanita, ia pasti tak akan ragu untuk mencubiti pipi chubby pemuda itu. 'Gue menyukai adik unik seperti itu. Dia hanya perlu dijinakkan. Itu saja.
"Eh tunggu, bukannya bocah itu baru MOS ya? Tapi kok udah pake seragam SMA? Terus atributnya.. Ah biarlah."
-- 🍂🍂🍂
#TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]