#Page 12 - Alzhemeir

3.5K 295 8
                                    

Membuat sugesti sendiri, untuk ditanamkan pada diri sendiri. Itu juga adalah hal yang amat penting untuk gue, tapi entah untuk mereka.

Gue... Penderita Alzhemeir berusia muda.

Zidan Almahendra

"Lepasin gue!"

Suasana yang semula tenang, menjadi riuh oleh kedatangan kedua pemuda itu. Bahkan para dokter dan suster sampai menampakkan diri demi melihat keributan apa, pagi-pagi begini.

Aldan, pemuda itu dengan santainya melangkah melewati halaman rumah sakit sambil menggendong tubuh Zidan dengan posisi terbalik. Ia acuh meski punggung dan pantatnya dijadikan samsak pemuda mini yang heboh berteriak.

"Al! Lepasin gue! Atau gue prejelin celana loe."

"Silahkan kalo bisa."

Zidan menarik-narik jenas hitam yang dikenakan Aldan, tapi gagal. Ia menyadari sebuah ikat pinggang melingkar di sana. Aldan terkekeh pelan. Zidan menggeram kesal, ia kembali memukuli punggung kakak tirinya, sedangkan kedua kakinya yang berada di posisi depan tubuh Aldan menendang angin.

"Lebih baik loe anteng, atau gue minta salah satu suster cantik di sini buat suntik bius loe? Oh, atau suntik mati, mau?" candaan sarkas.

Mendengar kata suntik saja, tubuh Zidan sudah panas dingin gak jelas. Bagaimana jika suntik mati? Oh, yang benar saja. Ia masih belum berhasil mendapatkan bidadari sekolah.

Pasrah. Lagi-lagi Zidan hanya mampu pasrah dan kalah.

"Begini lebih baik." Aldan tersenyum. Lagi-lagi ia menang, caranya sungguh sukses membuat tubuh yang digendongnya berhenti berontak.

Mereka melewati koridor Rumah Sakit. Aldan berencana membawa sang adik ke Dr. Iwan. Dokter yang sama, yang pernah memfonis Zidan beberapa waktu lalu. Selain karena masalah pernafasan sang adik yang kerap kambuh, juga karena ke-tidak stabilan otak adik tirinya yang memang patut dipertanyakan dan perlu diperiksakan.

Aldan sempat berhenti sejenak di depan pintu berlabel Dr. Khusus 'kejiwaan' dan kembali melangkah begitu Zidan memekik keras, berkata bahwa ia tidak gila. Yah, adiknya memang masih waras. Hanya baut dalam otaknya aja yang udah kendor.

Pagi tadi adiknya kembali berbuat kecerobohan yang lagi-lagi tidak sadarinya. Bagaimana mungkin adik tirinya bahkan sudah tak mampu membedakan antara pasta gigi dan sabun colek?

Sampai di depan pintu yang dituju, Aldan mengetuk dengan sopan hingga balasan dari dalam mengizinkannya masuk.

"Ah, nak Aldan?" sapa sang Dokter ramah. Pria setengah baya dengan wajah yang cukup tampan itu, tersenyum ramah pada pasiennya.

Rupanya masih ingat, fikir Aldan. "Mau meriksain adik saya lagi dok," jawabnya menurunkan tubuh Zidan yang sibuk menggerutu tidak jelas. Ia hanya mendengus dan menurut saja saat Aldan menekan pundaknya untuk duduk.

"Jadi, ada keluhan apa nak, Zidan." Dr. Iwan bertanya sopan.

"Gue gak sak--"

"Jadi, begini Dr. Iwan," sang Dokter pun seketika menoleh.

Sumpah demi apapun, Zidan ingin sekali menendang mulut kakak tirinya yang seenak jidat menyela ucapannya.

"Setelah fonis dokter malam itu, besok malamnya adik saya kembali kambuh, dok. Maksudnya, tadi malam, adik saya kembali mendapat serangan." jelasnya panjang.

Zidan sudah akan kembali protes namun, diurungkannya begitu Aldan melotot ke arahnya. Seolah mengintrupsi dirinya untuk diam.

Dr. Iwan mengangguk paham. "Coba saya periksa, ya!" meraih stetoskop dari lehernya, menempelkannya di dada kanan Zidan.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang