Ternyata, diambang kematian itu... menakutkan...
Zidan Almahendra
Zidan kembali menarik tisyu dari kotak, menyumpalkan pada hidung bangirnya yang tak juga berhenti mengeluarkan darah usai tamparan itu.
Tamparan yang seharusnya ditujukan untuk mulutnya, ternyata berimbas juga pada hidungnya. Dengan terpaksa ia bernafas melalui mulut sekarang.
Kedua tangannya pun turut berlumur darah sebab tak mampu menahan laju darah yang menderas saat berlari ke kamar.
Zidan kembali menarik tisyu baru. Ia duduk bersila ditengah kamar saat ini. Dikelilingin tisyu merah yang berserak di sekitar tubuhnya.
Setelah habis sekitar setengah kotak, barulah cairan merah itu berhenti mengalir. Tinggallah rasa perih yang terasa di hidungnya akibat terus bergesekan dengan tisyu.
Tatapan pemuda itu masih nanar, entah sedih, marah, atau kecewa. Ia pun tak tau sekarang sedang dalam keadaan yang mana. Dari jendela kamar yang hanya mempertontonkan warna gelap, pandangannya berputar ke arah SpringBad besar di sampingnya.
Bukan. Lebih tepatnya, pada buku bersampul cokelat miliknya yang tergeletak di atas sana. Tangannya yang masih lengket karena darah yang mulai mengering, meraih benda persegi itu.
Tatapannya kian nanar saat foto mendiang ibunya, menjadi hal pertama yang ia lihat usai membuka asal buku itu.
Senyum mulai terkembang di sana. Namun, tipis. Miris. Jari telunjuknya bermain di atas permukaan foto yang menempel di sana.
"Ibu, Zidan egois ya?" ia mulai menggumam, seolah sosok dalam foto itu tengah duduk di depannya dan siap mendengar segala keluh-kesahnya.
"Enggak kan bu? Zidan kan satu-satunya anak kebanggaan ayah. Saking bangganya Zidan sampe dapet hadiah istimewa malam ini."
Aldan berdiri mematung di ambang pintu. Tak berniat mengusik adik tirinya yang memang sedang ingin sendiri malam ini. Gumaman yang keluar dari bibir tipis itu, tetap mampu dirinya tangkap. Gumaman Zidan yang lagi-lagi membuat otaknya dipaksa bekerja tuk mencari cara, bagaiaman caranya mengubah anak itu?
"Tapi Zidan kok bodoh ya, bu. Ngomong sama foto, gak ada gunanya." ia terus bermonolog dengan mata yang hampir tak berkedip memandangi foto itu.
"Lagipula... Egois itu apa sih?"
Aldan menghela nafas panjang, memijit pelipisnya yang seketika berdenyut mendengar setiap ucapan absurd sang adik. Dari sini ia meyakini, bukan paru-paru Zidan yang kambuh. Tapi virus Alzhemeir-nya yang makin parah.
📖📖📖
Iren mendengus pelan. Ia benar-benar jengah sekarang.
"Apa sih yang kurang dari gue, Ir? Loe pikir gak sakit apa loe tolak mulu!"
Pemuda itu, Fero. Entah sudah kali ke berapa dalam masa SMK ini, mengutarakan perasaannya yang berkali-kali juga ditepis oleh gadis berkacamata di depannya.
"Please, Fero. Jangan buat aku jadi terlihat seperti perempuan jahat! Aku gak pernah meminta kamu buat ngejar-ngejar aku. Masih banyak yang lain, Fero. Mengapa harus aku?" Iren ingin sekali menghentak-hentakkan kakinya ke lantai sekarang.
Fero itu tampan dan jago bela diri. Pasti akan sangat mudah baginya mendapatkan gadis cantik yang lebih tulus dari diri seorang Iren. Gadia berkacamata bulat itu juga harus menahan panas di telinga akibat cemoohan teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]