Mengapa hanya untuk mengingat sekeping kecil ingatan lama itu menyakitkan sekali?
Zidan Almahendra
Gadis berponi rata itu seketika menoleh ke arah Zidan dan menghentikan permainannya.
Zidan sendiri kecewa. Ia merutuki mulutnya yang bergerak refleks mengucap kalimat dengan cukup keras, padahal ia sangat menikmati alunan melody merdu itu. Sekarang, ia bingung sendiri harus bagaimana.
Terlebih saat gadis yang diintipnya justru tertunduk dan menarik penutup tuts piano, tanda permainannya tidak akan dilanjutkan.
"Maaf."
"Maaf,"
"Eh?"
"He?"
Keduanya saling tatap dengan kebingungan masing-masing usai mengucapkan kalimat yang sama dalam detik yang sama pula. Jika Zidan, ia sudah jelas meminta maaf untuk apa. Tapi, gadis itu. Kesalahan yang mana?
"Maaf sudah mengganggumu, gue gak sengaja mengintip."
Karena gadis itu yang lagi-lagi merunduk, alhasil Zidan lah yang meminta maaf—dengan lebih jelas—lebih dulu.
"I-iya, gak pa-pa."
Hening.
Zidan menghela nafas dan melangkah masuk. Sepertinya memang dirinya yang harus kembali memulai pembicaraan yang masih ganjil ini dengan lebih layak, tidak dengan posisi berjauhan seperti sepasang kekasih yang sedang berantem.
"Lalu, loe tadi meminta maaf buat apa?"
Gadis itu mengangkat wajahnya sedikit-sedikit, sekedar melihat posisi seseorang yang mengajaknya berbincang kini berpindah ke hadapannya. Menggunakan salah satu kursi kayu di dalam ruangan sebagai alas duduknya.
"B-buat... Buat yang tempo hari," jawabnya gugup.
Ia memalingkan wajah ke arah lain, tak betah berlama-lama menatap wajah seseorang yang pernah menjadi dambaan hatinya di masa lalu. Zidan.
"Kapan? Yang mana?" Zidan makin dibuat bingung.
"Pas di belakang sekolah,"
"Emm... Maaf, gue lupa. Bisa lebih jelas?" Zidan menyela.
"Dadamu masih di perban?" ia balas bertanya. Kali ini ia kembali menatap wajah pemuda itu meski hanya sekilas.
"Masih, tapi dua tiga hari lagi juga di lepas."
"Gara-gara aku, itu gara-gara aku."
Zidan baru mengerti sekarang.
"Bukan. Itu resiko."
Gadis itu kembali mendongak dengan mata yang telah berkaca. Sungguh, sebenarnya bukan hanya itu kesalahannya. Namun, ia sendiri bingung bagaimana mengucapkannya, bagaimana cara memulainya sedangkan ia sendiri tau pemuda itu telah melupakannya.
"Itu resiko untuk kembali hidup. Jika bukan lewat perantara loe yang nolongin gue, sekarang gue udah dianiaya bumi." lanjutnya seraya menarik sudut bibirnya, tersenyum jenaka seperti biasa.
Baguslah, penyakit itu berguna juga. Dengan begini, pemuda mini itu tak harus melulu memikirkan masalah yang sedang membuntuti dan sesekali menyambar seperti cambuk.
Gadis bersurai sepundak itu justru tercenung. Mungkin karena dorongan rindu, jemari lentiknya berani merambah kulit wajah lembut seorang Zidan yang kembali terheran. Menatap wajah itu lekat, setetes liquid bening akhirnya lolos dari mata sipit si gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]