Sakitnya tak mampu kujabarkan. Aku tidak bisa menulis apapu selain... Ini sakit sekali...
Zidan Almahendra
19.43
Zidan menggeliat tak nyaman diatas kasur coklat miliknya. Meringis dan mengerang pelan sambil mengelus dadanya. Tak berani menekan apalagi mencengkeramnya, nyeri makin kuat setiap ia melakukannya.
Pemuda itu baru saja terbangun, dan mendapati dirinya telah berbaring nyaman dikasur kamarnya. Mungkin saat ini ia masih terlelap jika saja nyeri didadanya tak mengusik tidurnya.
Efek dari patah tulang baru ia rasakan malam ini. Nyeri menusuk membuatnya tak berani menarik nafas panjang. Sebisa mungkin ia hanya menarik nafas pendek-pendek. Bergerak sedikit saja, langsung memicu sakit itu semakin masih menjadi.
"Khhg... B-bang Al!... Shh... Bang Arrghh!!"
Pintu berderit terbuka, Aldan masuk ke dalam kamar yang telah gelap dengan segelas kopi di tangan. Lampu sengaja ia matikan usai merebahkan sang adik beberapa jam lalu yang ketiduran saat masih di Puncak.
Merasa masih terlalu sore untuk tidur, ia menyibukkan diri membalas komentar beruntun yang dikirimkan teman-teman Zidan. Terutama Pian. Ia sangat memahami kekhawatiran mereka. Terlabih setelah kejadian beberapa saat lalu di Sekolah.
Buram. Zidan berkedip sayu menatap cahaya dari layar ponsel yang dipegang Aldan. Tangannya yang gemetar terulur, mencoba meraih tubuh sang kakak tuk meminta pertolongan. Nyeri di sana semakin menggila, ia sangat kepayahan sekarang.
Namun, tangan kecil itu tak berhasi menyentuh tubuh besar di sampingnya.
"Khh..."
Ia meringis tertahan saat mencoba menggeser tubuh tuk mendekat dengan posisi Aldan. Sebulir kristal bening meluncur mulus dari manik sayunya.
Dengan cara apa ia memanggil sang kakak?
📖📖📖
BLETAKK!!
"Arrghh!! Gue kan gak sengaja!"
Pian membungkuk sambil memegangi kepalanya yang telah berdenyut dengan kedua tangan. Melindungi dari hamukan kedua gadis cantik dengan wajah garang versi mereka masing-masing.
"Itu karena kecerobohan loe! Gimana kalo sampai sahabat kita masuk Rumah Sakit hah! Loe mau tanggung pengobatannya?"
Shalsa dengan wajah merah beralih mencubiti pinggang Pian.
"Udah lah, Sha. Kasihan nih anak." Pipit menepuk keras punggung Pian.
"Sakit woi! Patah tulang gue ntar." protesnya sambil meringsek menjauh dari kedua gadis yang seketika berubah sadis.
"Gue udah hubungin bang Aldan, dia bilang Zidan gak pa-pa. Besok dia bakal kasih kabar lagi. Zidan lagi tidur sekarang." jelasnya mencoba menghindar.
Di halaman depan rumah, mereka berkumpul saat ini.
Pian yang langsung menghubungi kedua sahabat wanitanya usai kecerobohan dan kejadian naas di sekolah tadi, justru mendapat hadis jitakan seribu kali oleh mereka yang datang bersamaan kerumahnya untuk meminta penjelasan.
"Trus cewek yang kamu bilang anggota PMR itu, siapa? Seangkatan sama kita?" Shalsa sedikit melunak. Gadis bersurai gelombang itu duduk merapat ke samping Pipit yang mengenakan hoodie hangat.
"Gue gak tau namanya siapa. Setelah Zidan pulang dia juga pamit pulang. Gak sempet nanyain nama. Kalo seangkatan... Kayaknya enggak deh, kelas dua mungkin." jelas Pian sambil menyandarkan tubuh di salah satu pohon hias di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]