#Page 22 - Rindu

2.4K 315 43
                                    

Persetan jika mereka tidak menjengukku selama sakit, karena yang pasti... Gue rindu berat sama mereka. Kecebong-kecebong empang yang selalu nempel sama gue. Terlebih lagi Pian.

Zidan Almahendra.


Zidan melangkah menyusuri koridor sekolah dengan semangat dan senyum jenaka seperti biasanya. Bukan, bukan sekolah yang membuatnya senang. Tapi karena ia sudah rindu dengan sahabat-sahabatnya.

Memasuki kelas, ia hanya menghampiri bangku tuk melempar asal tas yang disandangnya lalu berlari keluar. Ia tau, di jam segini biasanya mereka berkumpul dikantin.

Dengan langkah cepat ia berlari menyebrangi lapangan indoor. Dari sana ia sudah dapat melihat ketiga sahabatnya sedang menempati satu meja dengan hidangan masing-masing.

"Pagi semuaaaa!! Gue balik dong..." ia berseru dan langsung melompat ke atas kursi di samping Pian.

"Zidan, udah ingat sama kita?" Shalsa bertanya takut-takut.

"Udah ingat? Ya gue pasti ingat dong sama sahabat gue."

Suasana di meja mendadak hening. Pipit dan Pian sama-sama terdiam dengan raut yang tak Zidan mengerti. Dan semakin tak ia mengerti saat Pipit membanting sendok di piringnya dengan hentakan keras dan menarik Shalsa menjauh dari sana.

"Mereka kenapa sih? Yan?"

Begitu menoleh, Pian pun sudah berdiri dari duduknya dan berlalu. Padahal makanan yang mereka pesan masih tersisa cukup banyak.

Zidan berlari dan menyambar tangan Pian. "Loe pada kenapa sih? Tiba-tiba kacangin gue gini? Kalian juga pada gak jengukin gue di rumah sakit."

Ucapan itu tak hanya membuat Pian yang berhenti, tapi juga Pipit dan Shalsa yang tak jauh dari posisi mereka.

"Kita jenguk Loe. Tapi loenya ngisir kita."

Kata 'aneh' langsung tercetak di benak Zidan. Sungguh tak biasanya seorang Pian berbicara datar dan sedingin itu padanya.

"G-gue ngisir kalian? Tapi gue gak ingat tuh kalo kalian datang." jawabnya.

"Gak usah sok gak tau deh loe!" Pipit telah memutar tubuh menghadap Zidan. Meski tak beranjak dari posisinya.

Zidan tersentak. Pipit juga tak biasanya bicara sekasar ini padanya. Ada apa ini sebenarnya?

Pipit melengos ke arah lain.

"Pas kita jenguk, Zidan gak ingat sama kita. Zidan juga ngusir kita." Shalsa menjawab lirih. Takut dengan suasana ini. Terlebih, beberapa siswa yang lewat, termasuk para penghunikantin telah menjadikan mereka tontonan juga bahan gunjingan.

"A-apa?" Zidan tak percaya ini. Sekarang ia bingung harus apa. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya jika ia pernah mengusir mereka.

Apa mungkin. Gara-gara Alzheimer yang ia derita? Tapi mengapa sudah sampai separah ini?

"Loe udah lupain kita, jadi emang lebih baik loe lupain kita sampai seterusnya, kalo perlu gak pernah anggep kita pernah kenal. Mungkin itu yang sebenernya loe mau." Pipit kembali bersuara lantang. Lapangan membuat suara mereka jadi berlipat lebih keras.

Usai mengatakan itu, Pipit kembali menarik Shalsa menjauh hingga punggung mereka tak terlihat.

"Pian..." Zidan melirih.

Ia semakin sakit saat pergelangan tangan Pian perlahan terlepas dari belenggu. Meski bukan hempasan kasar atau tepisan yang ia terima. Hal itu tetap menyakitkan untuknya. Pian meninggalkannya juga.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang