Gue gak nyangka pernah melamar cewek kemudian menyakitinya. Alzheimer sialan ini telah membuatku menjadi playboy gak punya hati.
Zidan Almahendra
Sudah dirawat berhari-hari di rumah, sudah rutin minum obat pula. Namun kondisi Zidan masih jauh dari kata baik. Wajahnya menyimpan kelelahan yang amat sangat. Tidak ada yang sadar jika dirinya hampir tak pernah tidur penuh setiap malam.
Ia masih mengkonsumsi obat penghambat virus Alzheimer, yang selalu mengeluarkan segala yang ia makan sebelum tercerna sepenuhnya. Ia bahkan tanpa sadar menambah dosis obat itu sendiri. Yang tadinya hanya terjadwal dua kali sehari, menjadi tiga kali sehari. Yang tadinya hanya satu butir yang ia telan, ia tambahkan sendiri menjadi dua butir.
Zidan juga senang mengkonsumsi kopi hitam hampir setiap malam tuk menambah waktu untuknya tetap terjaga.
Bukan tanpa alasan Zidan melakukan semua itu. Itu semua karena segala rumus yang awalnya berhasil terserap dalam otak, selalu samar dan kabur esok harinya. Membuatnya harus mengulang untuk menghafal lagi dan lagi.
Hingga hari ulangtahun sekolah pun tiba. Hari yang berbarengan dengan seleksi pemilihan murid untuk mengikuti olimpiade. Ketiga sahabat, Bahkan Iren pun datang ke rumah Zidan pagi itu. Berusaha melarang anak itu untuk ikut mengingat keadaannya yang belum meyakinkan.
"Gak usah ikut deh, ya. Loe aja masih pucet gitu. Ntar Loe makin ngedrop kalo ketemu Fero." Iren tidak menyerah untuk membujuk.
"Siapa Fero? Gak bisa Kak, Gue udah terdaftar sebagai peserta. Kalo Gue mundur, itu artinya Gue akan kalah sebelum berperang. Dan seseorang akan mengatai Gue pengecut."
Ajaib. Dirinya masih bisa berbicara normal sepanjang itu tanpa terbata, untuk ukuran penderita Alzheimer yang sudah lebih dari satu tahun terjangkit merupakan suatu keajaiban. Padahal belakangan ini dirinya sudah mulai sulit untuk menelan. Alhasil berat badannya menurun.
Seragam yang biasa ia kenakan pas, pagi ini terlihat sedikit kebesaran. Ketiga sahabat Zidan tak sampai hati melihat perubahan besar pada diri sosok yang dulu ceria dan perusuh.
"Kamu yakin udah kuat, Sayang? Dadanya kalo sakit lagi pas di sekolah gimana?"
Kali ini Alis yang membuka suara. Sebagai seorang ibu ia tentu khawatir seperti teman-tema Zidan. Namun anak yang ia khawatirkan hanya berkedip-kedip dengan raut bingung, sebelum menjawab dengan sangat singkat.
"Yakin."
Alis beserta yang lain sudah langsung paham, Zidan tidak ingat akan komplikasi di dadanya.
"Gue ikut."
Aldan sedikit berteriak kala gerombolan anak Titanium itu melintasi sofa ruang tengah tempatnya duduk. Mereka sontak berhenti, bersamaan menatap kakak tiri Zidan.
"Hari ini acaranya bebas 'kan? Tamu dari luar boleh gabung? Gue pengen pantau adek Gue."
Keempat teman Zidan saling pandang sejenak, mereka gak bisa memutuskan. Sampai Zidan yang akhirnya buka suara.
"Jemput pas pulang sekolah aja!"
"Tapi---"
"Gue oke, Bang."
Zidan berjalan keluar lebih dulu, disusul ketiga teman wanitanya. Hanya tinggal Pian.
"Maaf, Bang. Acaranya emang bebas, ngundang tamu dari luar tapi hanya untuk murid dari sekolahan lain. Bukan wali murid." jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]