Komplek Garu, nomor 37. Mulai hari ini gue harus mengingat ini. Alamat rumah gue.
Zidan Almahendra
Telinga berdengung keras seakan mau pecah, dada bergemuruh akibat gelombang kuat yang mengguncang tubuh. Namun, entah kenapa semua itu justru mereka nikmati. Otak dan tubuh seketika rileks.
Yah, efek dari debuman drum berpadu gitar menjadi kunci utama dari seluruh sumber suara musik yang saling beradu menjadi satu lagu. Menuntun tubuh-tubuh mereka meloncat-loncat menikmati irama. Band Rock yang sedang unjuk kemampuan di atas panggung, juga makin menggila dalam memainkan musik. Menghiraukan tubuh dan tangan pegal, panas. Terhiburnya penonton menjadi bayaran impas dari semua itu.
Berakit-rakit kita kehulu, berenang kita ketepian...
Bersakit dahulu, senang pun tak datang...
Malah mati kemudian...Menghiraukan dinginnya malam di tengah alun-alun kota, tubuh yang meliak-liuk asal, sudah cukup tuk memproduksi keringat. Menghiraukan orang asing di sekeliling yang saling berhimpit, mereka hanya datang tuk menghibur diri. Sejenak melupakan masalah yang bergelayut di tengkuk masing-masing.
Zidan, salah satu dari mereka. Pemuda berjaket denim biru laut itu berdiri di tengah kerumunan manusia yang mayoritas adalah laki-laki. Acuh meski si pembawa lagu yang ia nikmati tak tertangkap netra caramelnya. Pian sudah terpisah dengannya.
Asap rokok berpadu padatnya kerumunan membuat nafas terasa panas dan pengap. Sesak kembali dirasakannya, ditambah gelombang suara tinggi ini membuat denyutan pada luka di kepalanya semakin menjadi.
Acuh. Ia hanya menutup mata, menikmati rasa nyaman yang langsung tercipta dalam hatinya. Menuntun gerak tubuhnya mengikuti irama.
Satu jam.
Keriuhan mulai terjadi. Perkelahian antar genk entah karena apa, membuat sebagian besar kerumunan buyar dan menyibak. Namun, banyak juga yang memilih ikut andil. Zidan menyeringai dan sudah akan ikut andil dalam perkelahian ricuh yang otomatis menghentikan konser, sebelum tiba-tiba sebuah tangan menyeret kerah jaketnya keluar dari kerumunan.
Ia sudah hampir melancarkan tinjunya pada si pelaku saat berhasil lolos dari kerumunan. Namun, gerakannya terhenti begitu wajah datar dengan alis menyatu yang sangat dikenalnya tertangkap sepasang mata sayu miliknya. Ia nyengir lebar pada sosok itu.
"Bang, Bam?"
"Pulang!"
▫ ▫ ▫ ▫ ▫ 📖📖 ▫ ▫ ▫ ▫ ▫
"Gimana kepala loe?"
Zidan menoleh, mengusap belakang kepalanya yang masih berdenyut akibat luka yang belum di obati. "Udah mendingan sih."
"Sampe rumah obatin! Geger otak loe, ntar."
"Do'a loe jelek amat,"
Pian sudah hampir membuka suara untuk membalas kembali ucapan pemuda di sampingnya. Saat kemudian suara teriakan khas anak kecil melunturkan niatnya, beralih memutar pandangan mencari asal suara. "Loe denger itu?"
Zidan mengangguk sebagai jawaban. Pekatnya jalanan ke arah komplek karena jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, cukup menyulitkan mereka berdua yang hanya terbantu oleh cahaya remang lampu jalanan.
"Kembalikan Om! Itu milikku!"
"Bacot, loe!"
"Kakak!"
15 meter dari mereka, tampak tiga pria berbadan kekar layaknya preman tengah tertawa senang menikmati hasil rampasan dari seorang anak kecil laki-laki--berkisaran usia 10 tahun--yang masih berusaha tuk merebut kembali miliknya. Gadis lebih kecil juga ada di sana. Menangis sesegukan sembari berpegangan erat pada kaus belakang anak laki-laki yang ia panggil 'kakak'
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]