#Page 30 - Khawatir

1.8K 224 32
                                    

Aku tidak pernah merasa sesakit ini. Atau Aku pernah, tapi Aku lupa?

Zidan Almahendra

BRAKK!!

"Saya tidak terima, Putra saya dibully apalagi sampai pingsan segala! Sekolah macam apa ini? Masih ada aja bully-bullyan!!"

"Mohon tenang, Pak! Tenang! Kita bicarakan ini baik-baik."

Wanita berkepala empat yang tampak modis dalam ruangan kepsek, mencoba melerai emosi meluap-luap yang dilakukan Almahendra hingga berani menggebrak meja kepsek, di depan wali murid lain pula.

"Duduk dulu, Pak!"

Almahendra mendengus kesal. Meski dongkol, ia tetap duduk di sofa yang telah disediakan sambil melipat tangan di depan dada. Kerlingan tajam ia tujukan pada wali murid Fero yang seketika langsung tertunduk tanpa berani membantah ataupun membela putra mereka yang ... santai-santai saja dalam ruangan itu.

"Pian! Coba kamu jelaskan kronologi kejadiannya bagaimana?" Kepsek memulai perbincangan.

Pian yang juga duduk di satu sofa berdampingan dengan Ayah Zidan, mengangguk sebelum mulai menjelaskan.

"Awalnya, saya melihat kak Fero berkeliaran di luar kelas yang sudah sepi setelah bel masuk pelajaran kedua. Kak Fero saya lihat menggenggam sapu tangan saat itu. Beberapa menit setelahnya, di lorong lain, saya melihat kayak orang diseret. Kemudia sorenya sepulang sekolah, Zidan hilang. Dan ditemukan pingsan di gudang bekas belakang sekolah penuh asap. Dugaan kami yang menemukannya, Zidan pingsan karena asap itu Buk. Mungkin sesak nafas atau sejenisnya." Jelasnya panjang lebar.

Bu kepsek mengangguk-angguk mengerti. Pandangannya beralih pada Fero yang duduk dengan sebelah kaki menekuk di atas kursi plastik.

"Fero, apa yang dilihat oleh Pian itu beneran kamu?"

"Ya."

Semua nyawa di dalam ruangan itu cengo. Sungguh diluar dugaan, Fero tak menyangkal sama sekali. Mempermudah jalannya sidang kecil ini.

"Apa benar, kamu juga yang mengurung Zidan dalam gudang?"

"Ya."

"Kenapa di dalam gudang itu bisa penuh asap? Asap apa itu?"

"Asap dari pembakaran sampah di belakang gudang."

Kkrrrrkkkk!!

Buku-buku jari Almahendra seakan hendak merobek alas sofa saking geramnya. Bagaimana bisa ia mengatakan dengan begitu ringan dan gamblang tanpa rasa bersalah sedikitpun? Anak ini perlu diberi pelajaran lebih. Ia belum tau saja, siapa ayah Zidan sebenarnya.

"Untuk apa kamu melakukannya?" Kepsek melanjutkan.

"Untuk memberi dia pelajaran karena sudah berani ngerebut cewek incaran gue!"

PLAKK!!

"Anak kurang ajar! Sudah buat Papa dan Mama malu, bicara seperti tak pernah diajari tatakrama, semuanya kamu lakukan hanya karena cewek? Dimana otakmu, hah? Di mana?"

Fero diam memegangi pipi kanannya yang masih bengkak, kini kian ngilu kibat diberi tamparan oleh ayah sendiri. Ia menahan geram saat sang ayah gantian menempelengi kepalanya seraya mengomel. Dengan kasar Fero lantas menepisnya.

"Ayah tau apa soal perasaan gue? Yang ayah tau kan cuman soal kerja dan uang!" Fero berdiri menantang sang Ayah.

"Makin kurang ajar kamu ya!!"

"Pak! Tolong, masalah pribadi diurus belakangan!" Tegur Kepsek yang berusaha mendinginkan otak di tengah ruangan panas itu.

Almahendra tersenyum miring di tempatnya. Ia hafal dan kenal benar dengan Ayah Fero. Ia juga tau ia begitu menuruti keinginan anak, segala yang diminta selalu dituruti. Hampir mirip seperti dirinya pada Zidan sih. Dan ini pasti untuk pertamakalinya Fero diperlakukan kasar karena telah berani pada anak atasan. Yah, Ayah Fero adalah salah satu staf di perusahaan besar milik Almahendra sendiri.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang