Selamat tinggal Zidan. Yakni Gue sendiri. Sorry ... Gue cuma bisa sampek sini aja.
Zidan Almahendra
"Saya Kakaknya, dan saya melarang kalian!" Aldan mencekal tangan seorang suster bermasker yang hendak melepas infus.
Nafasnya tak kalah berantakan dengan penampilannya. Ia datang sedikit terlambat. Begitu sampai, tim Dokter sudah berada di ruangan Zidan. Pian dan yang lain tak dapat mencegah mereka.
"Tapi pak, berkas sudah disetujui."
"Yang menyetujui adalah seorang buronan polisi!"
"Tapi menurut data keluarga, beliau benar Ayah dari pasien. Jadi kami akan tetap menjalankan prosedur yang telah di setujui, pak. Kami minta maaf."
Isak tangis bersahutan dari mereka yang masih mengharapkan sosok di pembaringan sana bangun dan membuka mata. Sayangnya keinginan itu harus mereka pangkas saat ini juga. Dokter menepis pelan tangan Aldan dari salah satu suster yang bertugas. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Hanya mampu mengepalkan tangan dengan hampa, sembari menyaksikan alat-alat Rumah Sakit ditanggalkan dari tubuh lemah sang adik.
Zidan masih anteng-anteng saja di saat hidupnya sebentar lagi akan kandas. Namun tidak saat mask oksigen di buka, dan selang yang membantu pernafasan dari dalam paru-paru melalui tenggorokan ditarik keluar.
Anak itu mulai terusik dan gelisah dalam pejamnya. Perlahan, ia juga membuka bibir yang selama ini terkatup. Karena kering, beberapa kulit di bibirnya bahkan mengelupas dan menampilkan bercak merah. Kepala Zidan bergerak lemah, diikuti tarikan nafas berat dan menyiksa.
Perlahan namun pasti, bibir anak itu mulai membiru. Gurat kesakitan terlukis jelas dari wajah yang selama empat bulan ini tak menunjukkan raut apapun selain tenang dan damai.
"Hhhhkkk!!"
Semakin berat nan sempit nafas Zidan, suara serak yang seakan menghimpit semakin jelas pula terdengar dari kedua belah bibirnya yang gemetar. Telinga keluarga serta teman-teman Zidan yang mendengarnya seperti akan robek saat itu juga.
Pian, Aldan, tak ada yang tak menangis menyaksikannya. Hanya dalam hitungan detik, nafas anak itu sudah kehilangan suaranya. Namun dadanya masih kembang kempis meski tersendat-sendat.
Di saat mereka saling mendekap untuk tetap tegar, Aldan justru mendekat. Dirinya dikejutkan dengan Zidan yang membuka matanya sayu. Menghantar beberapa titik air mata turun dari sana.
"Adikku sadar! Hei, kalian, pasangkan lagi alat bantu pernafasannya! Cepat!"
Tim medis sama sekali tak menggubris ucapan Aldan. "Itu hanya reaksi tubuh ketika seluruh fungsi tubuh mulai berhenti bekerja, Pak. Mohon Anda bisa ikhlas!"
Jawaban Dokter malah membuat Aldan seperti orang kesetanan. "Cepat pasang atau akan kutuntut Rumah Sakit ini karena telah membiarkan adikku mati disaat dia masih bisa sadar kayak gini!" sungut Aldan.
Aldan mengendurkan emosi kala sesuatu yang dingin merambati tangannya. Zidan pelakunya. Tapi ia hanya mampu menggenggam lemah. "Bang, Al di sini. Hey!"
Telinga Zidan masih berfungsi, meski suara dengung yang sangat kuat menghantam gendang telinganya membuat suara Aldan jadi samar. Ia seperti ingin mengucap kata, namun lidahnya terlanjur kelu. Zidan menggeleng samar, satu-satunya hal yang mampu dirinya lakukan sebagai wakil dari ucapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]