#Page 39 - Akhir

1.7K 135 5
                                    

Selamat bang, Al. Maaf, gue gak bisa dateng. 


Zidan Almahendra.

Seorang pria dengan pakaian tuxedo hitam berdiri gagah, bersama seorang gadis cantik dengan gaun putih bunga yang indah di satu panggung kecil berhiaskan berbagai macam jenis bunga. Mereka berdua berdiri saling berhadapan, sama-sama menyunggingkan senyum terbaik masing-masing.

Didampingi oleh masing-masing orangtua keduanya, mereka saling bertukar cincin emas putih sederhana, kemudian diakhiri dengan sang Pria mengecup punggung tangan sang gadis.

"Berjanjilah kau akan tetap setia bersamaku, apapun keadaannya, sampai saatnya nanti aku benar-benar akan menikahimu ... Iren Gracia."

Iren yang sore itu mengganti kacamatanya dengan softlens kecoklatan, mengangguk tanpa sedikitpun memudarkan senyum. Rambutnya disanggul setengah menggantung, dan tiara kecil menyelip di atasnya. Ia pun balas berikrar, "Iya, aku janji ... Kak Aldan."

Tepuk tangan riuh menyambut sesi pertunangan sederhana antara Aldan dan Iren. Dua sejoli yang rupanya selama ini berpacaran diam-diam sejak Iren masih kelas satu SMK. Aldan dengan sangat sabar menanti hingga kekasihnya akhirnya lulus dari SMK Titanium. Hubungan yang tidak mereka sangka akan sampai ke jenjang pertunangan.

Acara dilanjutkan dengan musik merdu dari pianis ternama yang tak seorangpun tau namanya, sambil menikmati hidangan yang juga sederhana. Tirai senja menaungi acara itu. Kendati mendung sedikit mengganggu. 

Bambam beserta Gandhara, Pian, Pipit, dan Shalsa juga turut hadir. Namun Cindy tidak ada diantara mereka. Ia diberi mandat untuk tetap di Rumah Sakit menemani Zidan. Fero datang. Meski tidak ikut menikmati pesta, dirinya hanya memperhatikan berlangsungnya acara yang menikam hatinya itu dari dalam mobil di parkiran. 

"Sial! Kakak adik sama saja!"

Umpatnya seraya melajukan kendaraannya menjauh. Kecewa karena ternyata dirinya selama ini telah salah kaprah dan ditipu. Yang disukai Iren rupanya bukan Zidan. Senior primadona Titanium itu hanya menaruh rasa peduli dan sayang yang lebih besar untuk Zidan, tidak lebih.

Dan di saat bahagia itu, mendung rupanya tak hanya memperkeruh langit, tapi juga memperkeruh hati beberapa orang, termasuk Iren. Ia duduk termenung di salah satu kursi dengan raut murung. kemana perginya senyum indah yang tadi?

Melihat hal itu, Aldan dengan perhatian membawakan gadisnya minum. "Ada apa, sayang?" sambil bertanya lembut.

Iren mendongak sebentar. Minuman yang tunangannya letakkan di meja terdekat hanya ia sapa dengan lirikan. Tak berminat minum.

"Rasanya gak lengkap, Kak." keluh Iren lirih.

Aldan tentunya mengerti. Ia menghela nafas singkat, membalas keluhan kelasihnya dengan hanya elusan di kepala. Ia pun merasa begitu, bahkan bila ditilik lagi, wajah teman-teman terdekat Zidan juga beraut sama dengan Iren. Karena sosok Zidan tidak turut hadir di sana. 

Anak itu masih betah dengan pejamnya. Tampaknya, memejam seperti itu sepanjang waktu terasa begitu nikmat untuk Zidan. Padahal sudah empat bulan lamanya. Kondisi itu membenarkan Vonis Dokter yang mengatakan anak itu memang akan koma tanpa dapat diprediksi kapan akan sadar, empat bulan yang lalu. Akibatnya olimpiade dilaksanakan dengan Vero sebagai juara keempat, menggantikan Zidan sebagai juara kedua karena ketidakhadiran anak itu.

"Kapan Zidan akan sadar, Kak? Rasanya sangat tidak adil, kita melaksanakan tunangan kita tanpa kehadirannya." Iren berucap frustasi.

"Berhenti mengeluhkan hal itu, kita sudah membahasnya Iren!" terdengar nada tidak suka dari jawaban Aldan.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang