Siapa gerangan pemilik wajah manis itu?
Gadis penyelamatku...
Siapa dia?Zidan Almahendra.
"Diam!"
Gadis itu tak menghiraukan teriakan Pemuda yang beberapa saat lalu menyeretnya paksa. Ia hanya fokus untuk mengembalikan detakan di dalam sana. Tangannya terasa pegal namun, tetap tak membuahkan hasil. Ia tak berhenti, ia terus memukul. Lebih keras.
"STOP! LOE MAU BIKIN TULANG RUSUK SAHABAT GUE PATAH, HAH?"
"LALU APA LOE SIAP JIKA SAHABAT LOE INI MATI?"
Jawabnya tak kalah sarkatis."TAU APA LOE SOAL BEGITUAN?"
"GUE TAU. KARNA GUE ANGGOTA PMR!"
Kali ini Pian sukses bungkam. Membiarkan saja sahabatnya yang tengah sekarat menjadi bahan amukan gadis cantik itu. Ia sebenarnya tak peduli kalaupun rusuk sahabatnya rusak. Asalkan Sahabatnya bisa kembali dan mengijinkannya tuk mengucap kata maaf.
Keringat mengucur deras di pelipis gadis itu. Wajah dan matanya merah karna hampir tak berkedip. Telapak tangannya terasa perih akibat tertancap kuku panjangnya sendiri. Ia tetap tak berhenti. Ia dapat merasakan tulang pemuda di hadapannya retak. Dan sebentar lagi ia yakini akan patah karna ulahnya.
'Aku mohon kembalilah! Jangan pergi! Aku mohon.. Jangan pergi sebelum kamu tebus semua kesalah kamu! Kamu udah nyakitin hati aku. Dan kamu harus bertanggung jawab akan hal itu!! Kembali!! Kembali!!'
Dalam hati gadis itu terus meracau hingga terasa ngilu. Ngilu yang menjalar menghantarkan cairan bening berharga dari sepasang manik indahnya.
Gadis itu menangis? Lantas apa yang gadis itu tangisi? Setidaknya pertanyaan itulah yang tertera dalam benak Pian saat ini.
BUAGH.. BUAGH..!!
"Berdetak lagi! CEPAT BERDETAK LAGI!!"
Ia berteriak frustasi.
Deg!
Gadis itu tercekat. Detakan di sana kembali. Ia menempelkan telinganya ke dada yang telah memerah karna ulahnya.
"Berhasil?" Pian bertanya antusias. Meski raut kekhawatiran masih ada di sana.
Yang ditanya justru melakukan hal tak terduga lainnya.
Nafas buatan.
Pian tak melarang gadis itu mencuri ciuman—entah yang kesekian dari bibir sahabatnya. Sebab sahabatnya itu telah berkali-kali mencuri ciuman anak gadis orang.
Setelah berhasil mengembalikan detakan di dalam sana. Gadis itu kembali berupaya mengembalikan nafas Zidan. Sebuah usaha heroik yang memang pas disandang oleh para anggota PMR yang bernyali besar. Kini Pian percaya bahwa gadis itu benar-benar anggota PMR yang dibentuk oleh sekolah untuk membantu korban bencana dan wajib tergabung dengan anak-anak Pramuka.
Gadis itu menarik nafas dalam. Menyimpannya, dan menghembuskan perlahan dari mulut biru pemuda itu yang telah ia buka terlebih dahulu. Sebuah ciuman tanpa sengaja. Namun, gadis itu belum menyadarinya, ia hanya fokus untuk mengembalikan nafas pemuda yang sangat berharga untuknya. Dahulu, hingga saat ini. Meski pemuda itu belum menyadarinya. Atau mungkin... Lupa akan dirinya.
Zidan membuka mata tiba-tiba saat dadanya yang terasa terbakar tanpa oksigen kembali mendapat pasokan oksigen yang sangat ia butuhkan. Paru-parunya sesaat mengalami kejang hingga nafas pemuda itu tersengal.
Tak lama, nafasnya kembali normal. Meski nyeri masih ada, setidaknya ia bisa bernafas kembali. Ia sungguh lega. Bibir kebiruan itu sirna, meninggalkan jejak putih. Ia mengerjap, menyesuaikan pandangan yang masih buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]