Babak belur tuh rasanya sesuatu banget. Tapi ...
Kenapa mereka begitu marah padaku hari ini? Toh, aku menikmatinya. Yah, meski ... mau mati rasanya ...Zidan Almahendra.
____________________Traakk!!
Almahendra pulang-pulang langsung melempar kunci mobil ke atas meja ruang tengah dengan raut menahan emosi.
"Siapa yang melakukannya, Al?" Ia bertanya seraya membuka dua kancing bagian atas kemejanya. Entah kenapa atmosfir di rumah pagi ini begitu panas. Sangat tidak kontras dengan suasana ruang tengah yang aslinya sejuk karena di dampingi AC.
"Pian, bilang kakak kelas."
Tuk!
Aldan datang dari balik pintu dapur, kemudian duduk di sofa yang bersebrangan dengan ayah tiri usai meletakkan segelas air putih dingin ke atas meja untuk sang ayah.
"Terimakasih, nak. Sudah ada bukti?"
Aldan memperhatikan sejenak Almahendra yang tampak dehidrasi berat melihat betapa cepat air dalam gelas besar itu tandas, sebelum kemudian menjawab singkat, "dia sendiri saksinya, Pa."
Almahendra mengangguk-angguk.
"Umm, lalu ... bagaimana dengan Zidan yang melarikan diri dari Rumah sakit, Pa? Papa ... tidak marah kan?"
Almahendra terkekeh singkat dengan suara beratnya yang khas. "Ayah mana yang tidak marah, Al? Setelah semalaman penuh mencari tanpa tujuan, yang dicari malah asik sendiri."
"Asik sendiri?"
Almahendra mengangguk. "Tadi di lapangan dekat jalan sekolah adikmu ada tawuran. Adikmu pasti terlibat."
Aldan menggeleng dan tersenyum yakin. "Itu gak mungkin, Pa! Anak itu udah kapok semenjak ada Al."
Almahendra sekonyong-konyong malah tergelak. Ia meraih ponsel di saku kemeja miliknya dan mengutak-utiknya sebentar. Layar bening ponsel itu kini diarahkan di depan wajah Aldan yang tercenung seketika.
Di sebuah gang, Zidan tampak menendang salah seorang berseragam sekolah yang berbeda dengan miliknya, sedangkan tiga anak lainnya menatap adik tirinya itu dengan sengit. Aldan sedikit tersentak saat tangan Mama Alis merambati pundaknya, turut melihat apa yang disuguhkan layar persegi panjang itu.
Almahendra menarik kembali ponsel dari hadapan dua orang tercintanya, dan melenggang pergi ke dalam dapur begitu saja.
"Adikmu tawuran lagi, nak?"
Aldan diam saja. Alis tampak takut sebelum kembali berucap, "nanti sore kalau adikmu pulang, awasi dia ya! Mama takut Papa akan bertindak gegabah. Dia masih sakit, sayang."
Aldan masih saja bungkam. Alih-alih khawatir akan apa yang akan ayah tirinya lakukan nanti saat adiknya pulang, Aldan justru lebih mengkhawatirkan ... Bagaimana keadaan Zidan sekarang? Menurut hasil pemotretan tadi, adiknya berhadapan dengan empat orang.
Satu lawan empat? Aldan benar-benar tak habis fikir.
📖 📖
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]