Seperti de javu. Mengapa gue ngerasa ... kalo sebelum ini gue pernah mengalami hal yang sama, dengan sosok yang sama pula?
Zidan Almahendra
____________________Jika bisa copot sendiri, mungkin hal itulah yang akan terjadi pada jantung Zidan. Ia memejam sambil menelan ludah susah payah, menarik oksigen dari jalur nafas yang dipersempit oleh cekikan Pipit di lehernya yang bergerak begitu cepat secara tiba-tiba.
"PIPIT!"
PLAKK!!
Pipit merasakan pipi kanannya yang lebam biru kini panas terbakar. Ia pun melepaskan cekikannya pada Zidan, yang seketika terbatuk-batuk. Lehernya nyaris memerah.
"Loe sadar apa yang barusan loe lakuin, hah?"
Pipit tersadar. Dalam hati ia begitu berterimakasih pada Shalsa berkat satu tamparan yang berhasil mengembalikan kewarasannya yang seolah hilang. Tidak bisa dipercaya, ia hendak membunuh sahabatnya sendiri? Ia bahkan tak sadar akan hal itu.
Pian dan Bambam hanya diam menyaksikan. Kendati sepasang netra mereka pun sama-sama melebar melihat aksi mengejutkan dari sosok yang telah mereka kenal lama. Namun, mereka kalah cepat dengan Shalsa yang lebih cekatan.
"Uhuk! Khh!"
"Loe gak pa-pa?"
Zidan menggeleng dan mengusap tangan kecil Shalsa yang bertengger dibahunya untuk menenangkan sahabat wanitanya itu.
"Apa loe lupa, apa tujuan kita mencari Zidan?!" Nada suara Shalsa melunak. Ia menghela nafas panjang menyaksikan Pipit yang terdiam.
"Tujuan kita buat nyelametin dia, kan? Buat mastiin kalo dia baik-baik aja? Kok jadi gini? Loe tadi bukan Pipit sahabat gue!"
"Sha, g-gue ... gu-gue gak niat melakulan hal tadi," Pipit tergugu.
"Zidan ... gue minta ma—"
"Sorry, kalo gue secara gak sadar nyinggung loe tadi ... uhuk!" Sambil memegangi leher yang masih terasa menggelitik dari dalam, Zidan menyela. Ia tau Pipit tak bermaksud, dan ia tak ingin sahabat paling pekanya itu jadi tersudut karena kesalahpahaman.
"Gue ... g-gue juga mau minta maaf sama ... kesalahan gue yang lain." Pipit takut-takut mengucapkannya. Mengingat, betapa kasar dirinya saat menghakimi Zidan yang belum sehat benar di rumah sakit beberapa minggu lalu. Untunglah anak itu tak sampai depresi berat seperti dulu.
"Kesalahan yang mana?"
ZONK~
Selama beberapa detik otak ketiga sahabat Zidan seketika kosong. Mereka memang telah mengetahui perihal penyakit yang sahabat mereka derita. Namun, untuk hal seperti ini mereka baru pertama kali. Kecuali Bambam tentunya, ia tetap anteng dengan wajah tanpa ekspresi.
"Loe ... bener-bener lupa? K-kemarin? Apa yang loe ingat kemarin?" Pipit bertanya lagi.
Zidan mengetuk dagu seraya berfikir, ia melirik lawan main di bawahnya yang hendak bangun dan menginjak perut siswa itu hingga tak jadi sadar, sebelum menjawab, "Gue lupa. Nanti deh, kalo pulang gue cek Journal gue dulu." Sambil cengengesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]