#Page 14 - Apa salahnya?

2.9K 308 16
                                    

Setiap orang memiliki pendapat dan prinsip masing-masing. Juga alasannya masing-masing. Begitu juga dengan gue...

Zidan Almahendra.

Tersenyum. Zidan menarik spidol hitam yang terjepit di antara giginya, memainkan benda panjang berisi tinta itu di tangan layaknya jungkat-jungkit. Sembari sibuk mengamati hasil karyanya di atas kertas journal cokelat miliknya. Foto-foto berukuran minim tertempel rapi dengan tambahan kalimat di bawahnya, serta nama yang kebanyakan tak lengkap di bagian atasnya.

Yah, sepertinya penyakit pikun itu telah membuatnya lupa nama panjang orang-orang terdekatnya. Tapi itu bukanlah masalah besar. Karena kenangan bersama mereka masih melekat dalam otaknya yang entah akan bertahan berapa lama.

Menutup buku berukuran sedang itu, Zidan beralih meraih Kamera yang tergeletak di samping tubuhnya. Mulai sibuk menyesuaikan benda persegi itu dengan objek yang akan diambilnya, di antara mata kanannya.

 Mulai sibuk menyesuaikan benda persegi itu dengan objek yang akan diambilnya, di antara mata kanannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ckrekk!

Suara khas benda itu terdengar, ia menarik kamera mini itu dan melihat hasilnya. Buku journal bersampul cokelat berhasil tertangkap.

"Dasar gila!" ia terkekeh sendiri.

"Bagus kalo loe sadar."

Mengangkat wajah, Zidan memekik singkat begitu wajah seseorang tidak sampai satu jengkal di depan wajahnya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya terjengkang ke belakang membentur lantai plastik.
Beruntung kedua lengannya melakukan gerak refleks, kepalanya terselamatkan dari ke-benjolan.

"Sekedar info, gue bukan setan!"

Sedangkan si pelaku, meluruskan tubuh yang semula membungkuk. Pipit. Gadis tomboy itu tetap memasang ekspresi favoritnya. Datar, tanpa rasa bersalah.

"Tapi loe tiba-tiba muncul kayak setan!" Zidan mengumpat. Ia segera memasukkan buku dan kamera miliknya ke dalam tas, sebelum sahabat wanitanya itu kepo akan apa yang barusan ia kerjakan.

"Jam pulang sekolah udah lewat satu jam yang lalu, dan loe masih di sini. Ngemis receh, mas?"

"Bukan urusan loe!" timpal Zidan seraya berdiri dan membenarkan sedikit kemeja birunya.

"Pian kemana?" Gadis itu mengganti topik.

"Pulang duluan."

"Tumben?"

"Jangan ketularan Shalsa, deh!" Zidan mendesah pelan.

"Loe sendiri kenapa belom pulang?"

"Ini mau pulang. Bay!"

Usai mengatakan itu, Pipit melenggang pergi melewati Zidan begitu saja. Terbiasa dengan sefat gadis itu, Zidan hanya mendengus singkat. Namun, ia tersenyum begitu orang yang sedari tadi ditunggunya akhirnya menampakkan diri.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang