Oke, Moodku sekarang lagi baik jadi part ini bisa kubuat panjang. Semoga tidak jenuh ya, Keep Reading^^
°
°
°
'Walau detik-detik terakhir itu, selalu menyakitkan'
Entahlah, tapi sebait kalimat itu menjadi momok menakutkan buat gue. Gue takut jika... Hal itu benar adanya.
Zidan Almahendra.
Pian serta teman-temannya telah sampai di pekarangan rumah sakit. Karena Pipit enggan membonceng Iren, jadilah Pian yang membonceng kakak kelasnya itu. Jika Zidan tau hal ini, pria mini itu pasti akan mengamuk padanya.
Mereka menyusuri koridor pun dengan posisi terpisah. Pipit dan Shalsa jalan lebih dulu, sedangkan Pian dan Iren tertinggal di belakang. Gadis tomboy sahabatnya itu entah atas dasar apa, tidak pernah menyukai sosok Iren Gracia bahkan sejak hari pertama pengumuman MOS. Padahal Iren adalah kakak kelas mereka yang memiliki sifat lembut dan ramah.
"Boleh kakak tanya sesuatu?" Iren membuka suara dengan sedikit canggung. Meski mereka adik kelas, tapi ia tak pernah akrab dan sedekat ini dengan mereka.
"Tanya apa kak? Soal sahabat wanita gue yang di depan? Jangan khawatir kak, mereka hanya tidak terbiasa. Mungkin,"
"B-bukan itu..." Iren menggeleng kecil.
"Trus, apa dong?"
"Zidan, sakit apa sampai harus operasi? Apakah parah? Apa yang terjadi sebenarnya?"
Pian mendengus kecil. Tidak menyangka jika kakak kelasnya yang kalem bisa secerewet ini menanyakan perihal sahabat tengilnya. Apakah sekarang Iren sudah sadar dan membalas cinta Zidan? Entahlah. Hubungan mereka berdua terlalu membingungkan.
"Ceritanya panjang kak. Gak cukup waktu buat jelasinnya sekarang, karena ruang rawat Zidan udah terlihat."
Pian menunjuk kamar di sisi kiri bernomor 101. Ia bisa tau itu kamar Zidan karena kedua sahabat wanitanya yang berjalan duluan telah masuk ke sana.
"Oh, baiklah. Mungkin aku akan bertanya lagi lain kali." sambung Iren sedikit... Kecewa? Karena bukan apa-apa. Ia hanya takut semua ini ada sangkut-pautnya sama Fero.
"Permisi, tante!"
"Permisi!"
Alis segera mengusap kasar wajahnya agar bersih dari air mata saat menyadari ada kunjungan.
"Ah, iya. Masuklah nak!" ia berujar lembut dan berdiri dari duduk.
"Teman-temannya Zidan ya?"
"Iya, tante." Pipit dan Shalsa mencium tangan Alis sebelum berjalan ke ranjang sahabat mini mereka yang makin cengo melihat kedatangan mereka.
"Permisi tante!"
"Masuk!" Alis kembali menoleh ke arah pintu. Pian dan Iren menyusul masuk. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Pipit dan Shalsa.
Kini mereka berdiri mengelilingi ranjang Zidan yang bertelanjang dada karena perban tebal yang masih membelit di sana.
"Woi! Ngapa lo? Kaget banget kita dateng? Ya iyalah, sahabat terbaik harus begini." Pian nyerocos lebih dulu dan mengusak surai Zidan yang telah acak-acakan.
Namun, pandangan pemuda itu justru tertuju ke arah lain. "Kak Iren?"
Gadis berkucir satu itu hanya menanggapi dengan senyum dan anggukan kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]