#Page 27 - Tawuran

1.4K 225 26
                                    

Tawuran?
Wah, ini pasti akan mengasyikkan ... 
Wait me, tawuran! I'll be come ...


Zidan Almahendra.
____________________

Suasana di ruang kelas XllE seusai pulang sekolah siang ini, dibuat menegangkan oleh perkumpulan khusus siswa. Memang tidak seluruh siswa, namun banyak yang terlibat.

"SMA ScrineSun, telah mencari gara-gara dengan SMK Titanium. Sebagai ketua OSIS gue kumpulin kalian yang gue rasa layak untuk membalas ajakan mereka."

Fero yang memang menjadi pentolan Titanium, bersuara lantang di tengah-tengah kerumunan, didepan sebuah bangku.

"Yang merasa pengecut, silahkan keluar dari kelas ini sekarang juga!" Tegasnya.

Hening, tak ada yang berani bersuara apalagi keluar kelas. Nyali mereka yang didominasi oleh adik kelas seketika ciut. Mau melawan pun percuma. Hanya akan berujung jadi bulan-bulanan satu sekolah. Berani tak berani mereka tetap diam dan harus ikut maju. Toh, mereka membela SMK sendiri.

"Fer, loe kenapa gak ajak Bambam? Dia dulu pentolan juga lho di SMPnya, udah naklukin beberapa SMP lain lagi. Trus lagi gue denger, dua anak didiknya juga sekolah di sini." Salah satu dari teman dekat Fero memberi usul.

Fero berdecak. Ia tentu tau hal itu. Ia juga tau siapa dua anak didik yang dimaksudkan teman dekatnya. Karena itulah ia tidak sudi mereka ikut andil.

"Tanpa mereka pun, kita bisa menang—"

"Gue, hadir! Gue, Hadir! Sorry telat pak ketu."

Seluruh pasang mata menoleh ke asal suara. Di depan pintu kelas, Zidan tengah membungkuk memperbaiki nafas usai berlari menaiki tanjakan anak tangga hingga di lantai tiga ini.

Fero mulai berang, ia membelah kerumunan dan kini berdiri menjulang di depan junior tak diundang yang seenak jidat ingin ikut andil begitu saja.

"Gak ada yang ngundang loe untuk ikut, tengil!" Semburnya.

Zidan mendongak—masih diposisi jongkoknya–sambil tersenyum remeh.

"Mau membela SMK sendiri. Harusnya gak perlu pake undangan sgala!" Balasnya sambil berusaha berdiri tegak. Naasnya, meski berlagak sok kuat, ia masih tampak kesulitan bernafas.

Fero tersenyum miring menyaksikannya.

"Memang. Bener ucapan loe, kerdil. Tapi, liat loe sekarang! Nafas aja udah kayak cebong kurang air, mau sekaligus bunuh diri?" Beberapa tawa mengejek bersahutan setelahnya.

Setelah susah payah, akhirnya Zidan kini berdiri tegak. Menantang. "Kalo gue bisa. Mau apa Loe? Kalo ntar gue mati juga, apa urusan loe?"

Kedua tangan Fero mengepal di kedua sisi tubuhnya. Menahan hasrat untuk tidak mendamprat anak itu saat ini juga. Kan tidak lucu, bila dirinya sebagai senior tingkat atas sekaligus ketua OSIS paling disegani penjuru sekolah, berkelahi dengan adik kelas paling rendah bertubuh mungil, di depan antek-anteknya lagi.

Namun, saat hendak kembali menyangkal, salah seorang siswa yang ditugaskan mengawasi di lapangan bawah berteriak lantang.

"Mereka datang, WOI! Mereka dataangg!!"

Semakin menanglah Zidan. Ia tersenyum sangat puas. Sudah lama ia merindukan memukul seseorang dan menang, sudah hampir setahun ia tak melakukannya karena selalu kalah dengan kakak tirinya itu. 

"Kak, kita harus cepat!" ucap salah seorang adik kelas tidak sabaran.

Karena sudah mepet, Fero menyerah juga. Namun, kali ini ia justru diam-diam tersenyum. Ah, ia baru ingat akan sesuatu. Dua kelemahan yang otomatis menjadi kartu AS seorang Zidan Almahendra telah ada dalam genggaman, dan ia meyakini, cukup satu saja kartu AS itu terbuka, sudah cukup untuk membawa adik kelas tak sopannya itu kembali ke pembaringan Rumah Sakit.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang