Gue kalah darinya?
Apa?
Gue harus jadi cunguknya dia?
Aarrgh! Bahkan satu detikpun gue gak sudi..Zidan Almahendra.
***
Zidan membuka matanya yang semula terpejam. Dengan ekor matanya ia melirik gadis tomboy --sahabatnya yang saat ini tengah menatap dirinya cemas.
"Loe kenapa?" Tanyanya balik. Sahabat perempuannya itu sangat aneh hari ini.
"Jangan membuat pertanyaan baru sebelum menjawab pertanyaan gue, Zidan Almahendra!" Pelan, namun tajam. Lengkap dengan pandangan runcing yang siap menghunus apasaja yang dipandangnya.
Zidan, sipemilik nama itu seketika bergidik ngeri. Ia seolah menyaksikan aura hitam yang menguar dari tubuh gadis tomboy disampingnya. Memang apa yang telah dilakukannya hingga membuat gadis bermuka tembok yang selalu menyepelekan hal besar itu, sampai sepanik ini?
"S-sorry!" Nyali Zidan langsung ciut. Diseretnya tubuh tuk beringsut kesamping kiri, sedikit menjaga jarak dari gadis cantik yang tengah murka tanpa sebab yang ia ketahui. Gadis itu adalah sahabat yang paling ditakutinya jika sedang marah, ia bahkan lebih menakutkan dari Pian yang notabennya laki-laki.
"G-gue gak kenapa-napa kok."
Pipit berkacak pinggang usai berdiri menjulang dihadapan Sahabat laki-lakinya. Merasa tak puas dengan jawaban yang dilontarkan pemuda dihadapannya. Bila diperhatikan dari jauh, mereka sudah seperti emak dan anak durhaka.
"Gue gak sesek kok, hidung gue buntu jadi... Gue napasnya pake mulut," Zidan akhirnya menjawab gelagapan setelah mengingat hal apa yang membuat gadis cantik itu khawatir.
"Gue juga gak mimisan ... Hidung gue beler, jadinya gue sumpal deh pake tisyu." Jelasnya lagi. Ia jadi harus mendongak dengan suara menyerupai orang sumbing karna hidungnya yang masih disumpal tisyu.
Pipit mendesah. Kembali menggerakkan tubuh ramping berbalut seragamnya, duduk di samping Zidan.
"Terus, itu kenapa bibir loe pucet gitu?" kali ini nada suaranya melunak.
Zidan melepas tisyu yang menghalangi pernafasannya. Warna merah menghias diri disana, tampak sekali pemuda itu tengah terserang virus sejenis flu.
"Gue demam dari kemaren malem." Jawabnya lemah.
Bibir dan mulutnya terasa begitu kering karna harus mengemban tugas yang harusnya dijalankan oleh hidung mancungnya.
"Eh? Tapi ... Udah mendingan kok, tinggal pileknya doank." Jelasnya kala tangan Pipit merambati leher jenjangnya tuk mengecek suhu badannya.
"Masih anget." Gumamnya.
Menarik kembali jari lentiknya dari leher Zidan, Pipit kembali menghela nafas. Merutuki kebodohannya beberapa menit lalu. Oh, ayolah ... Zidan bukanlah penderita kanker yang ada dalam tumpukan novel sad end milik Shalsa. Ia salah besar karna telah iseng membaca novel-novel itu, dan ia takkan lagi melakukannya.
Detik berikutnya, suasana seketika hening. Hanya suara-suara ricuh murid-murid sekolah dan hembusan nafas Zidan. Sesekali ia menyedot masuk sebuah cairan yang meringsek keluar dari hidung mancungnya.
Uhuk ... Uhuk!
Pipit menoleh, menatap pemuda mini yang saat ini sibuk membekap bibir pucatnya setiap batuknya terdengar. Batuk yang terkadang tedengar dalam hingga Zidan harus menahan gejolak dalam perutnya agar tidak muntah.
"Loe beneran gak pa-pa?"
Zidan terkekeh samar. Gadis disampingnya mengkhawatirkannya lagi. Ia jadi penasaran dengan wajahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]