Persaingan dalam meraih tujuan, wajar.
Ancamam dan kecaman dari lawan main dalam persaingan, itu juga wajar.
Asalkan... Tidak menjadikan mereka sebagai batu sandungan di tengah jalan. Tapi, menjadikan mereka sebagai tolak ukur untuk tujuan yang akan diraih.Zidan Almahendra
Minggu, hari yang mayoritas dinanti oleh banyak orang. Baik yang bersekolah, ataupun yang bekerja.
Bahkan sejak pukul enam pagi, beberapa bagian tempat kota yang sekiranya sejuk dan nyaman, telah dikerumuni orang. Untuk sekedar duduk dan bercengkrama, menikmati alam. Sungguh hari bebas yang begitu dinantikan.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh kedua pemuda berbeda umur yang satu ini. Hari libur dihari yang cerah ini justru mereka nikmati dengan berkencan bersama mimpi lebih lama. Tak peduli sang raja siang yang telah sibuk menebar cahaya silau bahkan hingga menembus jendela kamar bernuansa cokelat itu.
Keduanya tetap tak terjaga dari tidur nyenyak masing-masing. Springbad tak lagi berbentuk, selimut coklat selonjoran di atas lantai. Dengkuran halus bersahutan. Sungguh pemandangan penumbuh emosi bagi para kaum hawa, tapi karna kedua orangtua masih belum pulang dari bulan madu ditambah tak adanya pembantu, mereka jadi semakin bebas tanpa aturan.
Kringg!
Salahsatu ponsel dikamar itu berdering nyaring dengan layar berkedip-kedip menunjukkan nama si pemanggil. Namun, mereka masih tampak tak terusik hingga ponsel itu kembali senyap.
Kriingg!
Panggilan berikutnya. Keduanya masih budeg.
Kriiingg!
Keduanya mulai terusik. Mereka menggeliat tak nyaman dalam tidur.
Kriiiiinggg!!!
"Aarrgh! Berisik! Al! HP loe bunyi terus noh!"
Zidan, pemuda itu berteriak masih dengan mata terpejam. Menendangi pantat Aldan yang tidur tengkurap di sampingnya, hingga empunya mendesah kesal.
Dengan mata masih tertutup rapat, Aldan menggerakkan tangan kanannya kearah nakas. Merambat, mencari letak ponsel yang tengah asik berteriak nyaring itu.
"Ah, hallo!"
Kriiiiinggggg!!!!
Bletak!
"Bukan HP gue bego! HP loe!" umpat Aldan menjitak kepala adik tirinya.
Zidan berdecak kesal, menggebrak-gebrak nakas disampingnya. Mencari letak ponselnya berada. Tidak ada. Semakin kesal, ia terpaksa bangkit terduduk dengan mata yang masih terpejam. Kedua tangannya meraba-raba kasur, gerakannya langsung terhenti begitu benda padat itu bersentuhan dengan telapak tangannya yang kini berada di bawah bantal.
Menggeser lingkaran hijau yang meloncat-loncat dalam layar ponsel, Zidan menempelakan ponselnya ketelinga.
"Hallo!"
"Gelap woi! VideoCall ini!" suara disebrang sana membuat Zidan kembali berdecak. Ia hanya ber-oh ria, kemudia menarik ponselnya ke depan wajah. Menampakan wajahnya yang kucel dengan beberapa garis bantal yang membekas, rambutnya pun sudah menyerupai sarang ayam bertelur.
"Buset! Itu muka apa serbet warung?"
"Ah, berisik loe! Ngapain nelfon gue malem-malem?" lantur Zidan masih dengan mata mengatup.
"Malem pala loe! Ini udah pagi, odong!"
"Eh?"
"Makanya melek mas! Melek!" sembur Pian diseberang sana dengan nada jengah. Tak sekali-dua kali ia harus menghadapi kekonyolan sahabat pelupanya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]