#Page 18 - Zizi?

2.9K 315 30
                                    

Zizi?
Aku merasa tak pernah mengenal panggilan itu...
Atau aku mengenalnya, tapi tak mengingatnya?

Zidan Almahendra






Aldan berjalan gontai di koridor rumah sakit. Menatap nanar sang adik yang megap-megap di atas brankar rumah sakit. Brankar itu di dorong semakin menjauh dari dirinya.

Tak ada niat mengejar seperti yang ibunya lakukan. Ia justru lebih sibuk menyalahkan dirinya yang teledor.

Ini kesalahannya.

Kesalahannya yang tak becus menjadi seorang kakak.

Pintu UGD telah tertutup rapat begitu ia sampai, dan ibunya tak ada di sana. Entahlah, mungkin sedang ke toilet.

Dua jam berlalu dan pintu di depannya tak juga menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Begitu juga dengan ibunya yang tak juga kembali.

Aldan mengusap wajah kasar. Ia bingung bercampur panik. Sempat terbesit dalam fikirannya untuk menerobos masuk ke dalam, tapi fikirannya memunculkan peringatan bahwa melakukan hal sembrono seperti itu hanya akan menimbulkan masalah baru.

"Arrgh!! Persetan dengan masalah baru."

Tak menghiraukan apapun yang akan terjadi nanti, Aldan bangkit dari kursi tunggu dan melangkah ke arah pintu dengan wajah dan penampilan yang awut-awutan karena keringat.

"Aldan!"

Pemuda itu menoleh saat sebuah tangan lembut mencekal pergelangan tangannya yang hendak terangkat untuk mendobrak pintu UGD.

"Mama?"

"Di sini kamu rupanya, mama cari kamu kemana-mana."

"Ma, mama dari mana? Adek gimana keadaannya? kenapa—"

"Adek tidak ada di dalam sana, sayang."

"Lalu, dimana ma?" Aldan semakin tidak sabaran. Menatap berpiyama tidur yang tak kalah berantakannya dengan dirinya.

"Adek di ruang operasi."


📖📖📖



Iren merapatkan tubuhnya ke dinding sekolah bercat hijau, saat dirinya hampir kepergok sedang menguntit.

Yah, ia sedang menguntit sahabat-sahabat Zidan yang notabenenya adik kelas, saat jam pulang sekolah. Mengetahui bocah tengil itu tak menjahilinya hari ini, cukup membuatnya beranggapan bahwa anak itu tidak masuk sekolah.

Ancaman Fero beberapa hari lalu benar-benar membuatnya parno sendiri setiap bocah mungil itu tidak menampakkan batang hidungnya di Sekolah.

"Jadi gimana? Bang Al, bilang apa?"

Itu suara lembut Shalsa. Iren memberanikan diri menyembulkan salah satu sisi matanya, dari dinding tempatnya bersembunyi.

"Bang Aldan, bilang kita udah boleh jenguk. Zidan sudah selesai operasi dan lagi dalam masa pemulihan."

Iren mengernyit bingung saat sahabat laki-laki mereka menimpali.

"Operasi?" ia mencicit.

"Kalau begitu ayo! Loe harus minta maaf sama Zidan secepatnya!" omel Shalsa dengan raut kesal serta sedih.

Sedangkan Pipit hanya diam dengan wajah datarnya. Meski dalam hati, ia memiliki kegusaran yang sama dengan sahabat-sahabatnya.

Pian menggaruk surainya gemas sendiri. Gemas dan kesal dengan dirinya sendiri yang terlalu ceroboh tanpa memikirkan dampak dari kecerobohannya akan sefatal ini.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang