Gue pengen terbiasa dengan keadaan tubuh gue yang sekarang. Tapi kok lama-lama ... Jadi orang penyakitan rasanya capek juga. Kalo gue mati, ada yang merasa kehilangan gak ya?
Zidan Almahendra.
Awalnya Pipit dan Shalsa hendak menemui Zidan sore hari, seperti permintaan Aldan lewat telefon di sekolah tadi. Namun sekarang, mereka berdua bersama dua pemuda yang menjadi anggota geng dari Gandhara justru tengah memacu kuda besi beroda dua menuju kediaman Almahendra pada pukul dua siang.
Tepat setelah tubuh mereka melewati pintu gerbang sekolah, Aldan kembali menelfon dengan panik. Meminta mereka segera datang, sambil misuh-misuh tidak jelas di seberang sana. Kebetulan saat itu Pian membawa serta beberapa teman satu geng yang harus ia kumpulkan, dua orang diantaranya mengijinkan untuk ditebengin. Pian tidak bisa ikut, karena ia masih ada tugas yang harus segera diselesaikan.
Zidan itu supel. Jadi tak ada satupun-dari puluhan anggota Ghandara-yang tidak kenal dengan dirinya, termasuk dua anggota yang tengah membonceng Shalsa dan Pipit saat ini.
Mereka sampai dalam waktu kurang dari 20 menit, karena ngebut. Usai mengatakan terimakasih, kedua siswi Titanium itu langsung berlari masuk ke dalam rumah. Pintu depan serta gerbang tidak dikunci, membuat mereka leluasa untuk menerobos masuk. Tentunya membuat kekhawatiran mereka kian terasa nyata.
"Tante!!"
"Zidan!!"
Keduanya langsung diberi kejutan dari balik pintu kamar mandi di lantai bawah. Entah dengan apa Alis-sang ibu tiri-akhirnya dapat membuka pintu kamar mandi, dan saat ini, wanita berkepala tiga itu telah kuyup karena berusaha mengeluarkan Putra tercintanya-yang tak lagi sadar-dari dalam Bathtub penuh air.
"Nak, tolong, nak!" pinta Alis memelas. Tampak jelas raut kelelahan pada wajahnya yang juga kuyup. Hampir lima menit ia berusaha mengeluarkan putranya tapi tak bisa, kedatangan kedua sahabat putranya tentu menjadi secercah harapan.
"Zidan ... Kenapa bisa begini?" Shalsa langsung berhambur menghampiri. Namun berbeda dengan Shalsa, Pipit justru berderap lari keluar rumah.
"Bang, stop! Stop dulu!"
Kedua pemuda yang tadi mengantarkan keduanya ke sini, sontak menoleh ke arah Pipit di ambang pintu. Keduanya padahal telah menyalakan mesin dan hendak keluar dari gerbang. Untunglah masih belum.
"Kenapa, Pit?" salah seorang dari mereka menyahut sambil mematikan mesin.
"Zidan butuh pertolongan! Ayo, cepat, bang!"
Keduanya sejenak saling tatap sebelum men-standard kendaraan mereka dan berlari menyusul Pipit ke dalam. Keterkejutan yang sama, juga berlaku pada mereka usai melihat keadaan mengenaskan itu. Bagaimana tidak. Nafas Zidan terdengar begitu berat di telinga mereka yang menyaksikan, diselingi gumaman lirih. Gumam yang muncul akibat dingin yang membuat tubuh serta bibir birunya tak henti bergetar. Tak hanya bibir yang membiru, seluruh buku-buku jemarinya juga.
Begitu diangkat dari dalam bathtub, putih pucat tanpa rona menyelimuti seluruh kulit yang telah berkerut karena terlalu lama berendam-kecuali area kepala.
Dua pemuda tadi langsung mengganti secara asal segala kain kuyup yang melekat di tubuh Zidan, saat sampai di dalam kamar. Keduanya lantas membebat tubuh yang lebih kecil dari mereka itu, dengan selimut tebal. Dua sekaligus. Namun Zidan tak henti-hentinya menggigil dan menggumam. Kesadaran pemuda mini itu langsung kembali seperempat persen. Akibat kembalinya kesadaran itu, membuat empunya langsung mengerang lirih akibat luka jahitan di dadanya yang kembali basah.
Tak cukup sesak yang merongrong dari dalam, perih serta nyeri di tiap tarikan nafas kian membuatnya tak berdaya.
"Dek, udah sadar? Hei, ini Bang Damar. Kamu bisa dengar suara, Abang?" tanya salah seorang pemuda tadi, diikuti raut penasaran pemuda lain. Tentunya, mereka bertanya karena khawatir, Pemuda kecil yang mereka tolong tiba-tiba menggeliat kecil sambil mengernyit dalam, begitu kedua netra sayu itu menyingkap setengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]