Gue gak tau kata apa lagi yang pantes buat gue sekarang selain. Jahat. Gue jahat.
Zidan Almahendra.
Zidan meringis-ringis perih saat punggung tangannya yang masih terluka kembali disusupi jarum infus baru. Aldan dengan sabar menunggui dan menenangkan adik tirinya itu.
"Bang Al, tadi itu siapa?" suara Zidan masih serak dan lirih. Tapi masih cukup terdengar karena mask oksigennya telah diganti dengan nasal canula. Infus di tangannya pun telah terpasang rapi kembali. Meski ia masih merasakan denyutan nyeri di sana, membuatnya tak berani menggerakkan tangan kanannya barang sedikitpun.
"Tadi? Memangnya tadi ada yang kesini sebelum bang Al?" Aldan balas bertanya dengan kernyitan heran. Seingatnya Almahendra, ayahnya masih di luar kota. Ibunya sedang ke kantin.
Zidan mengangguk pelan. "Tadi ada cewek kemari. Dia pake tudung hitam dan gak tau kenapa menangis di sini." jelasnya serak.
"Apa mungkin temanmu?"
Zidan menggeleng. "Aku tidak kenal."
"Dia yang membuat tanganmu terluka?"
Zidan mengangguk.
Sesaat Aldan mulai tersulut emosi. Takut-takut ada pihak gelap yang membenci adik tirinya yang suka mencari masalah ini dan berencana ingin membunuhnya tanpa sepengetahuan orang lain.
"Bang Al, akan meminta pihak Rumah Sakit buat muter CCTV dan menangkap pelakunya."
Zidan langsung mencekal pergelangan tangan Aldan yang hendak pergi meninggalkannya.
"Nggak perlu. Sepertinya dia gak berniat buruk. Kalaupun iya, gak mungkin dia kemari cuma untuk nangis dan kabur." terangnya.
Aldan mencoba mencerna ucapan adiknya. Ia pun seketika berpikir hal itu benar adanya. Aldan mengangguk dan duduk di kursi, mengelus surai Zidan yang masih tampak lemas dengan dadanya yang masih diperban pasca operasi.
Pintu ruangan terbuka disusul masuknya Alis. Ibu tiri Zidan.
"Ah, jagoan mama udah bangun." ia melangkah masuk dan mencoba akrab seperti biasanya. Mencoba memanjakannya agar bisa dijinakkan.
Bila biasanya Zidan menunjukkan raut tidak suka, benci, datar. Kali ini lain lagi. Air mukanya menunjukkan kebingungan menatap Alis yang kini berdiri di sisi lain ranjang.
"Kenapa sayang, ada yang sakit?" Alis berujar khawatir dan menggenggam tangan kiri anak tirinya.
"Bang Al!" Zidan justru menoleh ke arah kakak tirinya dan bertanya hal mengejutkan.
"Wanita ini... Siapa?"
📖📖📖
Gadis berjaket hitam yang beberapa saat lalu mengunjungi ruang rawat Zidan kini berdiri di depan kaca wastafel kamar mandi. Wajahnya menunjukkan rasa takut sembari menatap kedua tangannya yang berlumur darah. Itu darah Zidan yang tumpah akibat kecerobohannya.
"Aku melukai Zizi lagi." racaunya tanpa mengalihkan pandangan dari kedua tangannya.
"Bagaimana caranya aku memperkenalkan diriku lagi Zizi? Bagaimana caranya agar kamu ingat aku lagi?" ia terus meracau. Untunglah kamar mandi Rumah Sakit saat itu sedang sepi. Jika tidak, bukan tidak mungkin orang-orang akan menganggapnya gila.
Ia mengulurkan kedua tangannya ke bawah kran wastafel dan memutarnya. Menatap sendu aliran darah yang terbawa air kemudian hilang terserap lubang kecil di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]