Ingatan gue rasanya kian memburuk. Haha ... Tinggal nunggu waktu sebentar lagi. Buat gue lupa sama jati diri gue sendiri. My Journal, tolong selalu ingatkan gue!
Zidan Almahendra
Zidan dibuat terkejut begitu membuka mata, banyak sekali orang dalam ruangan serba putih yang tidak ia tau itu ruangan apa. Maklum lah, penyakit pikun.
Hanya ada tiga, tidak, empat orang wanita dalam ruangan. Selebihnya adalah pria remaja, pra remaja, dan beranjak dewasa, yang wajah-wajahnya terasa sangat tidak asing di mata Zidan. Namun, sangat asing dalam otaknya.
Zidan melebarkan mata kala pandangannya berputar ke arah sofa malang yang hanya berkapasitas tiga orang, namun diisi sekitar delapan orang. Lima orang ditengah, satu orang di masing-masing tangan sofa, satu orang di punggung atas sofa. Karena posisinya di atas, kedua kakinya jadi terjulur menginjak paha yang di bawah. Zidan pening sendiri melihat itu.
Namun, dari sekian banyaknya nyawa di dalam ruang rawatnya, tak ada yang menyadari bila dirinya sudah membuka mata. Semuanya asik dengan kesibukan masing-masing. Sayangnya, tak ada yang duduk di kursi dekat brankar.
Sialnya, Zidan tengah dilanda kehausan. Tenggorokannya terasa begitu kering sampai rasanya mau muntah. Pengen minum sendiri, tapi tangan serta tubuh berasa seperti jelly. Ia harus melakukan sesuatu untuk memancing perhatian, setidaknya salah seorang dari mereka. Ia benar-benar ingin seteguk air.
"Uhuk!"
Zidan memutuskan untuk pura-pura batuk. Malangnya, niat main-main itu malah mengundang nyeri menusuk pada luka jahit di dadanya yang beberapa jam lalu diperbarui.
Seluruh yang bernyawa di ruangan itu-kecuali yang sudah tidur-langsung menoleh ke arahnya. Panik, tentu saja. Setelah sahari semalam Smurf Boy itu tak sadarkan diri pasca pembedahan kecil, dirinya tiba-tiba batuk dan dan terlihat kesakitan sepeti itu.
Seluruhnya sontak berdiri, beberapa mengerumuni satu-satunya ranjang dalam ruangan.
"Sayang, hei! Ini Mama, kamu bisa dengar?" Alis mengguncang pelan lengan anak tirinya yang masih betah memejamkan mata ditemani kernyit dalam yang perlahan menipis.
Salah seorang dari mereka yang hendak keluar mencari dokter, dihentikan oleh yang lain begitu si empu yang menjadi sumber kekhawatiran, menatap sayu mereka satu persatu. Mengabsen wajah-wajah tak asing itu dalam memori ingatannya yang terasa hampa, kosong. Ia merasa kenal dengan mereka, tapi tak tau siapa, dan dimana mereka pernah bertemu. Walhasil, Zidan mengernyit lagi.
"Ada yang sakit?"
Zidan memfokuskan pandang pada si pemilik suara. Aldan, itu Abangnya. Namun Zidan tidak ingat bila Aldan bukan abang kandungnya. Ia merasa lega sedikit. Setidaknya, seorang dari mereka dapat dirinya ingat.
"Minum." pintanya parau nan serak, dari balik mask berembun itu.
"Loe, baru boleh minum besok." jawab Aldan seraya mengelus surai lepek sang adik.
"D-dikit aja!" Pintanya lagi.
Aldan menatap Alis, juga yang lain. Meminta pendapat, namun seluruhnya hanya diam. Tak berani membantah titah dokter, takut sesuatu yang tak mereka inginkan kembali terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]