Akhirnya ...
Pian sahabat gue kembali merengkuh tubuh gue.
Tapi lagi-lagi tubuh sial ini berulah. Haish... selemah itukah gue sekarang?Zidan Almahendra
Pian dan Aldan terlelap di posisi masing-masing. Ada yang tertidur di satu-satunya sofa, ada yang tidur dalam posisi duduk di satu-satunya kursi di samping brankar tempat Zidan terbaring.
Pemuda itu masih mengenkan beberapa kabel penunjang yang tertempel di dada kurusnya. Yah, hal itu tentu dilakukan oleh para tim medis mengingat kondisi memprihatinkan seorang Zidan saat dilakukan penyedotan tengah malam tadi. Tepat setelah keduanya berhasil membopong tubuh kecil itu ke rumah sakit usai ditemukan pingsan dalam gudang.
Zidan masih belum sadar saat dilakukan penyedotan. Kedua matanya terpejam, namun tubuhnya bereaksi tegang dan gemetar. Salah satu dari masing-masing tangan Aldan dan Pian sampai harus rela didera kram akibat cengkeramam kuat yang Zidan lakukan.
Pian dan Aldan menutup mata saat proses berlangsung. Rasa tak tega menyelimuti diri keduanya. Pun Pian yang pada saat itu masih menyimpan segumpal amarah, rasa tak tega tetap merajai. Ringisan tertahan, terlontar, disertai tarikan nafas cepat yang menyakitkan, dialam bawah sadarnya pun Zidan masih dapat merasakan sakitnya.
Tsk!
Pian terbangun dari lamunan, melirik jemari sahabatnya yang berkutik dan mungkin tadi tak sengaja menyenggol lengannya.
Lirikan itu ia pindahkan menjadi tolehan ke arah wajah familiar, yang juga tengah menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Zidan menyingkap kelopak matanya. Hanya separuh, tampak begitu lelah dan sayu. Pemuda itu meringis sambil memejam saat mulutnya tak sengaja menelan ludah.
Hal itu tentu tak luput dari pandangan Pian yang seketika langsung panik. Namun belum sempat ia bertanya, pergerakan lain dari sang sahabat membuat jantungnya mau copot.
"Jangan ditarik! Tunggulah sebentar, biar Dokter yang mengeluarkannya." ujar Pian setengah memekik sambil menahan tangan kanan Zidan yang telah menggenggam selang biru besar di ujung bibirnya.
Selang yang menjadi perantara dari selang kecil bening yang menjulur masuk ke dalam mulut dan rongga tenggorokan, hingga paru-paru Zidan.
Si empunya sontak menoleh ke arah Pian dan tangannya secara bergantian. Meski gerakan tak sengaja itu seketika menimbulkan sensasi mual.
"Hoaaammh ... ada apa? Zidan sudah sadar?"
Itu suara Aldan yang menggeliat di atas satu-satunya sofa, sambil menguap nikmat. Bersamaan dengan itu, sesosok berjubah putih Dokter masuk sesuai jadwal periksa.
"Loh, sudah sadar?"
"Baru aja, dok." Pian mewakili jawaban.
Pria berusia kisaran 30 tahunan itu mengangguk kecil sambil memeriksa Zidan dengan stetoskop.
Aldan bangkit dari sofa, mendekat ke arah sang adik usai menyesuaikan pandangan dengan terangnya lampu kamar rawat.
"Pasti terasa mual kan? Tahan sedikit lagi." Intrupsi sang Dokter.
Zidan hanya diam saja. Mungkin lebih tepatnya, tak berani bergerak. Terlebih saat Dokter itu secara perlahan menarik keluar selang dari mulutnya. Kali ini hanya tangan Pian yang digenggam Zidan. Pemuda mini itu kembali tampak memprihatinkan.
Matanya berair meski tidak menangis, akibat menahan gejolak mual yang muncul setiap selang ditarik keluar. Di dalam tenggorokannya selang lembut itu menggeliat naik. Tentu bisa dibayangkan bagaimana rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]