Sesak. Sesaknya sakit. Sesaknya rasa bersalah. Hanya itu yang bisa gue bilang dan rasakan hingga diujung kesadaran gue yang terenggut dua kali, hari ini.
Zidan Almahendra.
Berbekal sepotong kertas foto, Zidan berjalan tergesa menelisik tiap kelas yang ada tuk mencari keberadaan gadis misterius itu. Foto berisikan nama yang sama seperti yang ditemukan Aldan tanpa ia sadari malam itu, karena ia lebih dulu terlelap kelelahan usai menerima serangan. Paginya, ia kembali membuka kotak pemberian Indy Paramita Andini dan menemukan fotonya.
Ia butuh kejelasan.
Kejelasan dari secuil ingatan yang baru tadi malam berhasil ia ingat.
"Oh, Indy. Dia memang anak kelas ini."
Menghela nafas lega, akhirnya ia mendapat jawaban memuaskan dari salah satu siswi kelas Xe yang berada di lantai dua gedung ke tiga. Gadis itu rupanya seangkatan dengannya. Hanya kelas yang terpisah jauh.
"Tapi dia izin gak masuk hari ini, gak tau deh kenapa."
Namun rupanya kelegaan itu hanya bersifat sementara.
Zidan mendesah kecewa dan memutuskan pergi dari kelas itu usai mengatakan terimakasih. Berjalan lunglai menuruni tiap anak tangga sambil memperhatikan foto di tangannya. Siapa tau dengan begitu, ingatan lain tentang gadis itu di masa lalu akan kembali datang. Ia bahkan lupa jika beberapa hari ini ia absen menjahili Iren, kakak kelas incarannya. Entahlah, mungkin lupa.
Kyaaaa!!
Zidan terkesiap dari lamunan. Apa mungkin ia terlalu tenggelam dalam alam fikiran hingga tidak menyadari telah menabrak seorang gadis yang berpapasan dengannya di pertengahan tangga.
Greb!
Tapi untunglah tubuh mungilnya segera melakukan gerak refleks menyangga punggung sang korban dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain bertahan pada pegangan tangga. Meski tubuh yang sekarang ditahannya lebih besar dari tubuhnya, tapi tenaga seorang laki-laki dan perempuan jelas berbeda.
"Eh, loh, kakak Cantik?"
Yang dipanggil segera membuka mata yang semula terpejam karena takut jatuh. Iren, rupanya gadis itulah yang tadi berlari menaiki tangga terburu-buru hingga berakibat fatal. Ralat, hampir fatal kalau-kalau Zidan tidak segera menahan tubuhnya. Jadilah sekarang tubuh rampingnya tertahan di udara, wajah mereka hanya terpaut satu jengkal.
Iren terkesiap tanpa berkedip sejenak, namun ia segera sadar begitu sebuah senyum jahil terbit di bibir tipis Zidan. Iren segera memperbaiki posisi serta jarak diantara mereka sebelum ada saksi mata, terutama Fero. Ia telah berdiri dengan tegak pada satu undakan tangga di bawah Zidan.
"Sorry, gak sengaja. A-aku tadi buru-buru-"
"Gak usah gerogi gitu kali kak, sama gue ini. Ih, jadi gemes deh."
Tangan Zidan sudah melayang hendak mencubit pipi Iren dan langsung ditepis si empunya.
"Gak usah mulai ya!" tegurnya.
Zidan hanya cengengesan. Lihatlah, dia bahkan telah lupa niatan awalnya bisa sampai di gedung tiga lengkap dengan lamunan serta kekecewaannya beberapa detik lalu. Alzhemeir benar-benar luar biasa.
"Zidan, kamu ... Baik-baik saja?"
Yang ditanya mengernyit bingung. Yang hampir jatuh siapa, yang ditanya keadaannya siapa.
"Ya, gue baik. Harusnya gue yang nanya itu ke kakak."
"E-bukan, bukan itu. Maksudku ... Setelah kejadian di kantin kemarin, kamu ... Baik-baik saja." Iren segera meralat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal Life
Teen FictionBuku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]