#Page 25 - Permohonan

2K 270 55
                                    

Tak dapat lagi kulihat apa yang terjadi di sana. Yang dapat kurasakan hanya sakit yang kian menyiksa. Gue mohon, siapapun. Cepat temukan tubuh gue! Atau gue akan benar-benar ditarik pergi dari dunia fana ini.

Zidan Almahendra.

Pian masih terngiang akan ucapan Bambam beberapa hari lalu. Maksud hati ingin meminta maaf, kemudian mendengarkan penjelasan dari sahabat kecilnya, Zidan. Namun, ego rupanya terlalu kolot untuk dipatahkan. Buktinya, hingga hari ini hanya ia renungkan saja ucapan kakak kelasnya itu. Melamun. Tapi tak jua maju untuk merealisasikannya.

Ia menghela nafas panjang. Entah sudah yang berapa kali dilakukannya hari ini seraya berjalan menyusuri koridor sekolah. Tanpa arah. Biasanya jam istirahat seperti ini ia dan ketiga sahabatnya selalu berkumpul di kantin tuk sekedar membeli keripik kentang sambil mendengarkan anak-anak bergosip, yang kemudian mereka komentari dengan saling berbisik dan terkikik setelahnya.

Meja langganan mereka nongkrong sampai diberi julukan 'tempatnya orang-orang gila' yang suka tertawa gak jelas.

Hah, sungguh Pian merindukan hari-hari itu.

Karena sejak perselisihan mereka terjadi, ia pun jadi jarang bertegur sapa dengan kedua sahabat wanitanya. Mereka berempat benar-benar terpecah sekarang.

"Pian, awas di depan!"

Si empunya langsung berhenti melangkah. Untunglah masih sempat, karena selangkah lagi kakinya benar-benar akan masuk selokan di bawahnya akibat melamun dan tidak melihat jalan. Bukan hanya berakibat kotor, kakinya pun bisa saja terkilir jika benar kejadian.

"Loe mikirin apaan sih, sampe ngelamun gak liat jalan gitu?" Suara Pipit. Pian yakin benar itu.

"Gak ada," dustanya.

Pipit berdecih dan mengibaskan tangan sebagai tanda hendak berlalu pergi. Ia masih bergandengan dengan Shalsa. Gadis berwajah mungil itu sangat berbahaya bila dibiarkan berkeliaran sendirian, bisa jadi korban bullying dia.

"Emm, Pit! Gue mau ngomong dulu sama Pian bentar, Loe duluan aja!"

Pipit berhenti dan menoleh ke arah Shalsa yang kini nyengir.

"Oke, gak pake lama!"

Tanpa curiga apapun, Pipit melepaskan tautan tangan mereka dan melenggang pergi. Terlalu Over Protect memang, tapi mau gimana. Shalsa terlalu lugu dan mudah dibodohi, bahkan oleh kedua sahabat laki-lakinya jika tidak ia temani.

"Pian, gawat!" Shalsa beseru sambil mengguncang lengan Pian.

"Apanya yang gawat?"

"Zidan. Tadi gue liat dia kayak kesakitan gitu."

"K-kok bisa?"

"Gue juga gak tau. Tadi pas Zidan ngejar gue sama Pipit, dia tiba-tiba berhenti dan megangin dadanya gitu. Gue udah kasih tau Pipit tapi dia gak peduli."

Rasa khawatir di hati Pian mulai timbul. Pipit kembali menggoncang lengannya yang lagi-lagi melamun.

"Cari Zidan, Yan! Dia baru aja keluar dari rumah sakit, gue yakin dia belum sembuh benar. Gue takut dia kenapa-napa, apalagi kalo sampe dia pingsan di koridor sepi dan gak ada yang liat? Dia sahabat kita. Dia memang salah udah lupain kita, tapi kita juga salah karena gak dengerin penjesannya. Gue ... Hiks ... Gue, kangen kita yang dulu, Yan. Gue gak suka kayak gini." Shalsan terus berceloteh, setengah meracau, dan sekarang ia justru menangis. Sungguh gadis yang lugu.

"Jangan nangis! Gue bakal cari Zidan, dan Loe susul Pipit!"

Pian berlalu usai mengatakan itu. Tak dapat mungkir oleh rasa khawatir yang mendera, ia berlari tunggang langgang ke arah kelasnya. Yang dikatakan Shalsa memang benar, ia juga tidak suka situasi ini. Dan ia harus segera memperbaikinya sebelum lebih parah.

Journal LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang