01-Prolog

5K 210 63
                                    

Desiran angin pantai yang saling mengalun dan mendayu bagaikan satu irama melodi alam masuk ke telinga Senja. Di hamparan atas pasir putih sambil memperhatikan matahari terbenam, ia mendaratkan ujung pena menuliskan puisi indahnya lagi. Usianya nyaris menginjak 22 tahun, tapi buat orang-orang, senja harusnya berumur 30 tahun. Pikirannya terlalu dewasa untuk seorang wanita 22 tahun. 

Rambutnya yang panjang terurai lembut dipunggungnya sedikit-sedikit beterbangan disapu angin pantai yang sejuk dirasa. Pipinya sedikit membulat dan empuk untuk dicubit, paling tidak itu kata Goar, laki-laki Batak yang senang sekali dekat-dekat dengan dirinya. Matanya hangat sesekali menatap beberapa anak laki-laki yang riang bermain sepakbola dan sering kali kegirangan melantangkan kata "Goal!" bersama-sama.

Senja sesekali tersenyum ketika melihat Goar yang ikut serta dalam mengolah bola plastik bersama-sama anak-anak itu. Tubuhnya yang cukup berotot dan kekuatan kakinya yang sudah terlatih membuat Lemina Goar Silitonga cukup dominan diantara anak-anak. "Curang ah, Bang Goar mainnya! Kartu merahlah!" ujar salah satu anak yang kemudian disahut bersaman anak-anak lainnya. Goar keheranan, namun lebih memilih mengalah dan keluar dari permainan.

Senja hanya tersenyum. Ia tergelitik untuk tertawa, namun pikirannya masih terpaut pada kata-kata untuk puisinya. Ia menatap senja yang perlahan menampakan warnanya. Sering kali, Senja bertanya ketika ia menatap matahari pada senja "Jika senja bisa menampakan warnanya, sanggupkah aku punya warnaku sendiri?"

Goar duduk tiba-tiba di samping Senja yang syahdu dengan puisi dan pemandangan senjanya. Keringat masih mengalir hebat di sela-sela kulit goar yang cokelat kehitaman. "Senja, apa yang kamu tulis?" 

Ia melongo kebingungan sembari menggerak-gerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencoba melihat kumpulan kata-kata yang Senja tulis. "Aku menulis tentang Senja..." ujar Senja halus menyahut dan membalas sapaan Goar. 

"Alamak, bagaimana pula kau menuliskan tentang dirimu sendiri? Macam percaya dirimu terlalu tinggi, hey wanita muda!  Aku saja tak berani menuliskan tentang diriku sendiri," ucap Goar dengan suara lantang sambil sesekali tertawa mendengar perkataannya sendiri. 

Senja menengok pelan-pelan dengan tatapan tak senang. Kehadirannya dan candaan Goar datang di saat yang tak tepat. Jika tatapan ini sudah datang, Goar diam seribu bahasa. Tak berani ia mengucapkan apapun, walau hanya satu katapun. Ia memilih memalingkan wajahnya, diam, lalu membuka kaus singlet yang basah terkena keringat. Sekejap dada bidang dan otot-otot perut khas pria Batak muncul ke permukaan. 

"Ehm..." Goar kembali menggoda Senja. "Sudah selesaikah rupanya, Ja? Boleh Abang Goar lihat?"

Senja menyerahkan dengan tatapan hangat dan senyum puisi yang ia tulis. Diam-diam, Goar juga belajar untuk membuat puisi seperti Senja. Ia berpikir kalau memang sudah seharusnya Pria Batak pandai menulis. Ia melihat banyak Pria Batak menunjukkan kelasnya dalam bidang sastra, sebut saja Sitor Situmorang, Armjn Pane, ataupun Sanusi Pane. 

Ia memperhatikan kata-kata yang ditulis oleh Senja dengan telanjang dada dan sebuah celana boxer hitam yang melekat di bagian bawah perutnya. Mulutnya perlahan menganga hendak membaca puisi itu. 

Kalau senja hari ini tenggelam di desiran pantai, 
biarkan aku yang bercahaya di hatimu, 
menerangi setiap lekuk langkah yang kau jalani,
menenangkanmu dalam gelap hidup yang kau tapaki.

Kalau senja hari ini tak begitu indah untuk kau selami, 
jadikan aku sosok yang terlukis indah di sanubari, 
hingga titik-titik sendu dalam hatimu berganti,
dan tak jadi kelabu. 

Kalau garis oranye ketika senja muncul tak bisa menentukan arah hatimu,
arahkanlah kiblat hatimu pada arah dimana Tuhanmu menggerakan jiwa,
lantunkan aku dalam doamu,
dan ingatkan aku dalam tapak-tapak semu yang engkau punya.

Goar membaca dengan mata berbinar. Wajahnya sumringah tak tertahankan sambil membayangkan kalau saja Senja membuat puisi seindah itu untuk dirinya. Kalau saja puisi indah dan wajah menawan Senja bisa dimilikinya. Sempurna sudah hidup bagi sang Pria Batak. 

"Goar, Senja, sudah hampir malam! Ayo kembali ke Panti!" Teriak dari kejauhan Ratvika. Usianya lebih muda 1 tahun dari Senja dan Goar. Ratvika datang dari tanah Jawa diantar oleh sang ibu yang pamit berangkat menjadi TKI 4 tahun yang lalu. Setelah itu, Ratvika tak pernah mendengar lagi kabar ibunya. Terakhir, ia menangis menjerit karena ibunya dikabarkan tewas di luar negeri. 

Ratvika pelan-pelan berlari menyongsong Senja dan Goar yang nampak tak mendengar teriakannya. Langkahnya keras hingga meninggalkan tapak-tapak kaki di pasir pantai yang lembab. 

"Astaga, Goar! Saru tahu gak kalau kamu buka baju begitu di depan perempuan! Dasar pria nggak sopan," ujar Ratvika dengan nada marah sambil menarik tangan Senja. "Ayo, Senja... Goar tinggal saja. Lagi pula kan dia bukan anak Panti. Dia punya rumah."

Mereka berdua berlalu dari pandangan Goar tanpa sedikitpun sudi mendengarkan penjelasannya. "Nikmat kali moncong si Ratvika itu menilai aku. Dia tak tahu kalau pria Batak itu hanya keras di luar namun lembut di dalam. Herannya aku sama si Ratvika!" 

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang