Goar hanya memperhatikan kilauan jam tangan yang kemarin ia beli dengan uangnya sendiri. Sesekali ia membuka mulutnya dan menghembus sedikit nafas untuk menghasilkan embun, lalu mengelapnya. Wajahnya berseri-seri dan tersenyum seakan ada sebuah kebanggaan dalam dirinya melihat jam tangan itu.
Tak jauh dari tempatnya, Senja dengan sinis memperhatikan setiap gerak-gerik Goar dengan jam tangannya itu. Sudut matanya tajam, namun mulutnya enggan membentak dan menghardiknya. Dasar pria tidak tahu tempat, dia hanya bersantai-santai sementara anak-anak yang lain sedang sibuk untuk memasak, ujarnya dalam hati. Geram sekali dia melihat Goar bertingkah laku seakan sedang di kamarnya. Ingin sekali ia menegur, tapi ia takut kata-kata itu keluar dan menyakiti hati Goar.
"Senja, hey... Senja," Justru Bu Apik yang menegur Senja yang berhenti memotong kentang kotak-kotak. Hari ini, salah satu menu di panti adalah sambal goreng kentang ati - menu kesukaan senja, apalagi disajikan dengan telur goreng yang garing di pinggirannya. Senja terbangun dari lamunannya menatap geram Goar dan jam tangannya.
"Eh, ia, Bu. Kenapa?" Senja bertanya halus kepada Bu Apik yang tadi menegurnya.
"Kok kenapa sih, Senja? Itu potongan kentangnya sudah selesai belum? Yang lain sudah selesai buat bumbu, kamu masih selesai dua buah kentang. Hayo, segera diselesaikan! Masih ada 4 kentang lagi yang belum kamu potong. Biar kita bisa langsung masak, ibu mau kamu bantu ibu di dapur," ujar Bu Apik seraya berdiri mengangkat tubuh sintalnya. Senja sesekali masih kemballi menatap Goar yang seakan masih terbius pesona si jam tangan. Bu Apik justru memahami Senja yang kadang kala menoleh dengan emosi ke arah Goar.
"Hey, Anak Batak! Macam mana kau ini, yang lain sedang sibuk membuat masakan, kau malah senang-senang dan senyum sendiri melihat jam tangan. Jam tangan baru?" Ujar Bu Apik sambil melemparkan sisa batang kangkung yang juga akan dimasak.
Goar tersadar. Senyumnya merekah terbagi kepada Senja dan Bu Apik. "Hehe, iya, Bu. Ini aku yang menabung sendiri lah untuk membelinya. Butuh 8 bulan untuk melakukannya," ujar Goar dengan tatapan meyakinkan menjelaskan kepada Bu Apik. "Ibu mau lihat?"
Goar menyerahkan jam tangan yang sedari tadi mempesonanya itu kepada Bu Apik, yang menerimanya juga dengan tatapan tak senang. "Berapa ini kau beli, Goar?"
"Seratus lima puluh ribu, Bu Apik. Bagus ini, Bu!" ujar Goar dengan suara lantang khas orang Batak memamerkan jam tangan barunya itu. Dadanya sedikit membusung seakan hendak menunjukkan pada Senja bahwa dirinya pintar.
"Ah, bodoh sekali! Merknya pun tak terkenal, aku tak tahu merk apa ini pula. Dengan uang 150 ribu, aku bisa membeli jam tangan yang lebih bagus dari punya kau. Mau taruhan?" Ujar Bu Apik mencoba menantang Goar.
"Alamak, benar itu, Bu? Pedagang itu berbohong rupanya, minta ku hajar dia," ujar Goar bergumam dengan suara yang bisa didengar jelas oleh Bu Apik dan Senja.
Senja hanya tersenyum sambil sesekali menahan tawa. Mampus, emang enak ditegur sama Bu Apik, ujar Senja dalam hati melihat Goar nampak tak berdaya dalam argumen dengan Bu Apik.
"Nih, jam tangan kau..." Bu Apik menyerahkan jam tangan Goar kembali. Wajah Goar kini jadi tak karuan, suasana hatinya marah, malu, dan geram jadi satu. Bukan pada Bu Apik atau Senja tentunya, tapi pada pedagang jam tangan yang sudah menipunya. "Sudah, tak perlu juga kau pergi ke pasar dan memarahi pedagang itu. Dia hanya mencari nafkah untuk dirinya. Kau sebagai pembeli yang justru harus pintar. Lagipula, daritadi, aku tengok tak ada kerjanya kau di saat yang lain sedang membuat bumbu atau memotong bahan."
Goar tersenyum. Ia tersipu malu dalam tatapan tajam Bu Apik. Senja hanya memperhatikan betapa tangguh perempuan pengurus panti itu. Memori di kepalanya mengulang dan kembali mengeluarkan isi cerita atau kabar burung mengenai Bu Apik yang sempat ia dengar dari tetangga di sekitar panti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]
ChickLit[Long List Wattys 2018] Arkadewi Senja Dwiyana terus menutup dirinya dari cinta. Baginya, cinta hanya membuatnya terluka hingga jadi tak berdaya. Hanya Avgi, seorang pria yang sebelumnya dianggap sombong, yang mampu meluluhkan dinding keras hati Sen...