22-Bersandar Pada Siapa?

306 20 0
                                    

Senja menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir deras seperti derasnya aliran Sungai Batanghari di waktu musim penghujan. Sulti baginya menerima bahwa ia dilupakan, bahkan oleh seseorang yang dianggapnya akan jadi pelabuhan cinta terakhirnya. Awan mendung tiba-tiba merundung di atas kepalanya dan kesedihan membuat kamar Senja terasa jauh lebih dingin. Hatinya tak bisa lagi menerka apa yang harus ia lakukan. Tak ada lagi harapan. Goar di penjara dan keyakinannya pada Avgi terlupakan.

Suara pintu terbuka perlahan muncul di telinga. Bu Apik dan Bu Widya menyusul Senja ke kamarnya. Senja menelungkupkan wajahnya ke bantal. Ia tak ingin orang lain atau dirinya sendiri paham kalau dia sedang bersedih. Ia membenamkan dirinya jauh ke lembah paling dalam dari kesedihannya dan Bu Apik bisa menangkap itu.

"Senja. Sayang, ayo coba bangun sini! Ada hal penting yang bisa menjelaskan soal Avgi," ucap Bu Apik sambil pelan-pelan duduk di pinggir tempat tidur dan menyentuh pundak Senja.

"Sudah! Aku tak ingin mendengar nama itu. Lelaki itu pembohong! Aku benci dia, Bu!" ucap Senja menampik tangan Bu Apik yang berusaha membangunkannya.

Bu Apik menatap Bu Widya dengan tatapan sendu dan sedih yang bercampur jadi satu. Bu Apik tak tahu harus apa, ia hanya berharap Bu Widya menceritakan kenyataan sebenarnya.

Bu Widya mencoba merangkai kata-kata awal di kepalanya dan membersihkan tenggorokannya. "Avgi bukan melupakan kamu, Senja. Dia dipaksa melupakan kamu."

Senja menggerakkan tubuhnya dan lekas duduk di tempat tidur setelah mendengar suara Bu Widya. Matanya sembab dengan tangisan dan air mata sudah lengkap membasahi seluruh wajahnya. "Kenapa? Apa maksudnya dia dipaksa melupakan aku? Katanya dia tidak bisa melupakan aku?"

"Tenang, nak! Tenang ya!" ucap Bu Apik sambil kemudian merangkul Senja dan menyandarkan kepala Senja di bahunya. "Ayo, Wid diceritakan saja!"

"Oke. Sebenarnya ibu paham kalau kamu kecewa, tapi memang ini kenyataan yang harus dihadapi dengan lapang dada, Senja. Jadi..." ucap Bu Widya menjaga jeda sebelum masuk ke cerita sesungguhnya. "Dua bulan lalu, Avgi mengalami kecelakaan motor. Dalam kecepatan tinggi, ia lalai. Motornya hampir menabrak sebuah truk, beruntungnya ia berhasil mengelak. Namun, ia justru menabrak tembok rumah dan kepalanya terbentur tembok dengan sangat keras yang membuatnya harus koma selama 3 minggu."

"Lalu?" Senja bertanya lagi.

"Setelah sadar, dokter memeriksa keadaannya lagi. Hasil pemeriksaan menyebutkan kalau ada cedera cukup parah di bagian kepala depan hingga atas sehingga berdampak pada kemampuannya untuk mengingat. Avgi amnesia parah, Senja! Ia hanya mengingat beberapa orang, hitungan jari. Kedua orang tuanya, supir dan pembantu, dosen yang ia sukai, dan kemudian..." Bu Apik berhenti sejenak mencoba mencari cara untuk membuat ucapan berikutnya lebih enak terdengar. Wajahnya gugup hendak mencari kata-kata yang pas. "Farah."

"Farah? Farah yang pernah ke sini itu? Dia mengingat Farah, tapi tidak mengingat aku? Lontong!" ucap Senja dengan kesal menirukan gaya Goar berbicara.

"Huss! Jaga bicara kamu, Senja! Anak ibu tak pernah diajarkan berbicara semacam itu!" seru Bu Apik menghardik Senja yang terlampau kesal.

"Apa masih ada kemungkinan untuk sembuh?" tanya Senja mencoba mengonfirmasi apa yang ada dipikirannya. 

Bu Widya mendadak jadi sedih. Ia tak tahu harus bagaimana dengan Senja, dia sendiripun sedih melihat keadaan Avgi. "Dokter bilang, kalaupun ada, kemungkinannya kecil. Hanya keajaiban yang bisa membuat dirinya ingat semua yang terjadi di masa lalunya, Senja."

"Baik kalau begitu," ucap Senja yang kemudian melompat dari tempat tidur dan berdiri. "Aku yang akan buat keajaiban itu jadi nyata. Aku akan coba membuat dia mengingat aku!"

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang