Hujan turun merintik di luar membasahi tanaman bunga kemuning yang ditanam bu Apik, ibu pengurus panti asuhan, tepat di luar jendelanya. Beberapa nampak miring karena dilalui secara bringas oleh Goar yang mengendap masuk, hanya untuk mengirimkan puisi miliknya. Matanya mengarah hanya pada satu titik, bunga kemuning yang basah karena hujan. Bunga itu mengingatkan dirinya pada ibunya yang meninggalkannya ke kota beberapa tahun lalu.
Senja pernah berpikir apakah nasibnya seperti Ratvika yang ditinggal pergi selama-lamanya oleh ibunya yang berusaha mencari perbaikan nasib di tanah lain. Matanya basah dan sembab mengingat bagaimana masa kecilnya. Ingatan itu masih kental di kepalanya ketika ibunya mengajarkan huruf dan angka kepadanya. Ia masih merasakan suasana itu ketika pertama kali kata "ibu" keluar dari mulutnya. Ia masih paham juga bahwa senyum ibu itu membuat ia rindu.
Waktu sudah mau sore, matahari juga masih malu-malu untuk keluar dan menunjukkan perkasanya. Senja masih mengharapkan senja muncul di garis pantai dengan garis oranye atau merah jambu walaupun saat ini, hujan tak berirama turun dari langit.
"Senja... Senja..." ujar seorang perempuan mengetuk pintu kamarnya. Senja terkejut dan langsung menghapus air mata yang sedari tadi mengumbang di matanya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya dan menutup dengan selimut. Wajahnya tak terlihat, ia membelakangi pintu.
"Iya, Bu Apik. Masuk saja, pintunya tidak aku kunci," Senja menjawab pelan, berharap nada suaranya tak parau. Sayang, Bu Apik sudah paham itu terlebih dahulu.
Pintu dibuka dengan perlahan. "Lho, kamu kok malah tidur... Kamu sakit, sayang?" Ibu Apik menghampiri Senja yang kian hangat dengan selimut merah jambunya. Tubuh gempalnya merapat di pinggir tempat tidur sambil tangannya berpindah-pindah merasakan panas tubuh Senja. Aneh, kok tidak panas ya? Anak ini kenapa? Ujar Bu Apik bergumam dalam hatinya.
"Senja, bangun, Nak. Kamu kenapa, Nak?" Ujar Bu Apik mencoba membalikkan tubuh Senja. Dilihatnya wajah Senja yang sudah berlinang air mata dengan wajah merindu terpancar lirih. "Lho, kamu kok nangis? Ada apa, Senja?"
"Aku rindu ibuku, Bu! Kenapa ibu nggak pulang-pulang?" Senja menangis lebih keras. Sedihnya terpecah menjadi titik-titik air mata yang mengalir dan jatuh membasahi sprei tempat tidurnya.
Ibu Apik membuka tangannya lebar-lebar dan memeluk erat Senja yang sedang kalut dalam rindu. "Sudah, sudah... Ibu kamu pasti pulang suatu hari nanti. Ibu yakin itu. Jangan pernah berhenti berharap dan meminta pada Allah untuk membukakan hati ibumu untuk mengingatkan dirinya tentangmu dan pulang," ujar Bu Apik sambil mengusap rambut panjang bergerai milik Senja. Baju kebaya baru yang dipakainya basah oleh air mata Senja.
"Yah, baju Bu Apik jadi basah karena aku. Maaf ya, Bu! Aku cengeng sih," ucap Senja menggerakkan tangannya menghapuskan kubangan air mata yang tersisa di wajahnya.
"Sudah, sudah. Kamu jangan di kamar saja sendirian. Ayo keluar. Kamu tadi dicari sama Goar dan nanti akan ada teman baru untuk kamu dari Pulau Jawa," Bu Apik menjelaskan engan rasa antusias dan senyum lebar merekah seperti mawar di musim semi.
"Goar? Malas ah! Aku lagi malas bertemu dengan pria Batak itu," Ujar Senja segera melipat tangannya dan wajahnya berkerut.
"Eh? Kenapa begitu? Bukannya kamu justru sering ke Pantai di sana itu naik motor berisiknya itu? Kenapa sekarang jadi begini?" Bu Apik menggerakkan tangannya untuk memegang dagu Senja. Tatapan keibuannya mencoba membaca dalam-dalam ada apa dengan Senja dan Goar.
Ibu Apik menghela sambil membetulkan tempat duduknya. "Ibu itu tidak melarang kamu untuk pacaran atau suka dengan laki-laki manapun, asal itu tidak mengganggu sekolahmu dan kamu bisa jaga diri sebagai wanita seutuhnya. Lagipula, ibu lihat kalau Goar itu anaknya baik. Dia juga rela melakukan apapun untuk menjaga kamu. Ingat tidak bagaimana Goar babak belur dipukuli preman hanya untuk menjaga kamu? Dia tulus, sulit jaman sekarang mencari lelaki tulus macam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]
ChickLit[Long List Wattys 2018] Arkadewi Senja Dwiyana terus menutup dirinya dari cinta. Baginya, cinta hanya membuatnya terluka hingga jadi tak berdaya. Hanya Avgi, seorang pria yang sebelumnya dianggap sombong, yang mampu meluluhkan dinding keras hati Sen...