36 - Menerka Arti Hadirmu

393 20 12
                                    

Semenjak peristiwa di gala, Arkadewi memutuskan untuk menjaga jarak dirinya dengan Avgi. Ia paham bagaimana seharusnya ia berlaku terhadap seorang pria yang hendak menikah. Mungkin di titik ini, ia sudah harus benar-benar rela bahwa usahanya sia-sia dan Avgi tak akan pernah bisa mengingat siapa dirinya. Untuk pertama kali dalam hidup, ia menyerah. 

Arkadewi memindahkan kantornya, tak lagi dekat dengan kantor Avgi apalagi kantor Bona. Ia juga akan berpaling dan mencari jalan lain ketika berhadapan dengan Avgi, walaupun lelaki itu tersenyum padanya. 

Ia juga jarang masuk kantor sebagai sekretaris pribadi Avgi, ia lebih senang menjalani profesi lamanya dulu, menjadi pembantu bersama yang lain. Ada rasa perih yang tak terobati ketika melihat wajah Avgi dan ada teka-teki yang sulit dipecahkan ketika ia mengingat misinya yang gagal. 

Surat kecil yang ia selalu buat setiap pagi dan terlekat di meja kerjanya, kini ia hentikan. Percuma, tak akan ada gunanya. Otak Avgi juga tak jua bekerja untuk membuka memori tentang siapa Senja. 

Ketika makan malam di rumah, Arkadewi juga tak lagi memilih kursi di seberang Avgi, ia lebih senang menjauh. Ia tak ingin terhentak dan cinta lagi melihat senyum kala makan malam tiba seperti yang ia biasa berikan. 

1 minggu dengan suasana seperti itu, Avgi mulai gerah. Ia merasakan ada ruang hampa dalam dirinya ketika Arkadewi terkesan menjauh darinya. Baginya, ini bukan soal pekerjaan saja, tapi lebih bagaimana kehadiran Arkadewi tanpa disadari mampu menambal ruang-ruang hampa yang timbul di dalam hidupnya. 

Ia butuh cerita, apalagi belakangan ia mulai mendapat ingatan berupa seorang wanita, pantai, dan matahari terbenam. Ia tak tahu siapa wanita itu, pantai mana yang ditunjukkan, dan dimana letak matahari terbenam itu sebenarnya.

Selepas makan malam, Arkadewi cepat-cepat beranjak dari kursinya. Ia mulai merapikan meja makan dengan menumpuk piring-piring bekas makan, namun ketika ia sampai ke piring Avgi, ia melewatkannya dan langsung bergegas melangkah ke dapur. 

"Dewi, kenapa piring saya tidak kamu ambil?" tanya Avgi menghentikan langkah Arkadewi.

"Nanti biar Lina saja yang bersihkan, Pak. Ini sudah cukup banyak, saya takut nanti terlalu berat untuk dibawa," jawab Arkadewi menanggapi pertanyaan Avgi yang sebenarnya tak ia inginkan sama sekali. 

Avgi berdiri dan mendorong ke belakang kursi jati yang sedari tadi didudukinya. "Biar saya yang bawakan piringnya kalau begitu."

"Jangan, Pak! Ini tugas saya..." 

Arkadewi mempercepat langkahnya. Avgi tak mau kalah. Kali ini, ia membiarkan ego meliputi hatinya. Ia merasa punya masalah tak selesai dengan Arkadewi dan itu membuatnya resah. 

"Dewi..." ucapnya sambil mengenggam sau lengan Arkadewi. Ia membalikkan tubuh Arkadewi hingga berhadapan langsung mata dengan mata. "Kenapa belakangan kamu menjauhi saya? Apa ada yang salah antara kita?"

Arkadewi menunduk. Ia hanya tak sanggup bertatap mata dengan lelaki di hadapannya. Cukuplah bau parfum melati milik Avgi menghiburnya. "Tidak ada, Pak!"

"Hey!" Avgi memanggil Arkadewi lembut. Tangannya pelan menyentuh dagu Arkadewi lalu menaikkan wajahnya, hingga cantik jadi bagian dari wajahnya. Kecantikannya bersinar perlahan bak matahari terbit di ujung Kawah Ijen. "Aku tahu kalau kau menghindariku belakangan ini, kenapa? Apa ada kata-kata dan gerak-gerikku yang membuatmu kecewa?"

Arkadewi diam. Mulutnya terkatup sementara untuk beberapa lama, Avgi masih memandangi wajah lugunya. Arkadewi tak tahu harus berkata apa. Ia menggigit bibir bawahnya. 

"Kenapa? Apa aku salah?" Avgi bertanya lagi dengan lebih bersahabat.

Arkadewi menggeleng. Ia menunduk lalu beranjak pergi. 

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang