02-Senja Merah Jambu

2.1K 124 21
                                    

Senja itu berbeda. Ia hangat menatap, namun indahnya hanya sementara muncul ke permukaan. Ketika orang lain suka dengan romansa cinta, Senja justru menjauhinya. Dia berpikir bahwa cinta bukan hanya sekedar pemanis hidup saja, tapi alasan jenaka untuk hancur dan sakit hati. Ia memilih bergerak dalam diam, sementara hatinya berbaur seirama dengan kata-kata puitis yeng meluncur melalui ujung pena di atas kertas putih. 

Ini justru misterius bagi Goar. Pemuda Batak itu justru menyimpan keingintahuan dari keheningan rasa dan kekosongan perhatian yang ditampilkan dalam perangai Senja. Itulah kenapa walau sementara indahnya, senja selalu dirindukan

"Senja... Senja..." Goar berbisik sambil mengetuk kaca kamar Panti milik Senja. Ia melompat pagar yang diatasnya dipasang kawat berduri hanya untuk melihat pesona Senja dalam sapaan udara dingin malam itu. "Senja... Senja..."

Jendela terbuka sementara dirinya masih mengendap dan berjongkok di bawah jendela. Pandangannya terus dibuka sembari menantikan siapa yang membuka jendela itu. "Bang Goar, ngapain di bawah jendela? Masuk saja!" ucap Birra, teman sekamar Senja. Matanya berbinar melihat rahang kokoh, tubuh gempal sedikit kekar, dan otot-otot hampir mengembang milik Goar. Bagi Birra, Goar seperti pangeran negeri dongeng yang hadir di dunia nyata. 

"Ssssttt! Berisik kamu, Birra! Senja mana? Aku nggak bisa bermalam di panti malam ini. Bapakku pulang dari berlayar. Senja mana?" ucapnya masih berbisik kepada Birra yang terperangah mencoba menangkap makna kata yang dikatakan Goar. Tangannya menggaruk-garuk puncak kepalanya, ia kebingungan. Ia menatap ke belakang dimana senja nampak asik dengan biolanya. Birra kemudian menarik tangan senja menuju jendela. 

"Goar? Ngapain kamu disitu? Apa kamu tidak takut?" ujar senja yang kemudian menunjukkan wajah khawatir melihat keberadaan Goar. 

"Takut? takut apa?" cakap Goar sambil beranjak berdiri mendekati senja yang muncul dengan cahayanya menyapa rasa dalam hari Goar. "Pemuda Batak pantang takut dengan apapun. Sudah seharusnya kami jadi penghasil laki-laki berani untuk Indonesia. Belanda, Jepang, hantu, atau apapun akan aku lawan." 

"Yakin? Bang Goar kok kalau depan senja selalu pamer-pamer begitu sih, kalau depan aku aja, biasa aja..." ucap Birra mengerutkan wajahnya. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. 

"Halah! Berisiknya kau, ganggu saja! Sudah masuk sana, biarkan aku dan senja menikmati malam berdua," Goar mengusir Birra yang membuang muka sambil bersandar di tembok dekat jendela. 

"Tidak mau! Aku yang membuka jendela ini. Mana bisa abang berhasil menemui senja kalau bukan aku yang buka?" balas Birra dengan melotot dan menantang. Goar hanya bisa membalas dengan juluran lidah yang mencuat sekejap lalu masuk lagi. 

Senja hanya tersenyum melihat perseturuan keduanya. "Sudah-sudah. Kalian ini! Kenapa tidak pacaran saja? Kalian itu cocok loh!" 

"Alamak! Aku sukanya dengan kau, bukan Birra..." Goar membalas sekejap dengan berbisik.

"Apa? Kenapa Goar?" tanya Senja sekejap. 

"Hah! Tidak... Itu bulan bagus ya? Oh ya, tadi takut kenapa, Nja?" tanya Goar mencoba mengalihkan perhatian dan arah bicara mereka bertiga.

"Oh, iya. Kamu nggak takut ada di situ? Mengendap-endap seperti kucing yang hendak maling ikan? Asal kamu tahu, kemarin malam, Pak Erwandi melihat ada seekor ular besar masuk ke semak-semak yang kamu lalui itu. Sampai sekarang, ular itu belum juga ditemukan dan ditangkap," jelas Senja mengejutkan Goar. Tubuhnya tersentak kaget. Wajahnya celingak-celinguk melihat sekitar apakah ular itu ada di sekitarnya.

"Alamak! Kenapa pula tak kau bilang, Senja?" 

Senja dan Birra malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Goar. Ia celingak-celinguk melihat ke tanah. Mulutnya menggerutu dengan bahasa yang sulit dimengerti maknanya. 

"Dasar laki-laki payah! Tadi bilangnya tidak takut apa-apa, tapi sama ular takut! Huuuu..." Birra kembali mengumbar ledekan dan cibiran pedas untuk Goar. Tubuh Goar mendadak terdiam dan ia berusaha menjadi kuat sementara tetes-tetes peluh ketakutan muncul di beberapa sisi wajahnya. "Sudahlah, ayo masuk saja, Senja! Buat apa mengurusi laki-laki macam Bang Goar! Hanya pandai membual sementara tak ada realiasi konkritnya." 

"Tunggu... Tunggu..." Goar menahan laju tangan Birra yang hendak menutup jendela kamar mereka. "Aku hanya ingin menyerahkan ini kepada Senja. Aku hanya ingin kita bertukar puisi setiap hari. Ya, memang... Punyaku belum sebaik punyamu, Senja tapi percayalah aku terus belajar!" 

Senja mengambil puisi yang terlipat rapi dengan satu pita merah jambu kecil di salah satu ujung kertas tersebut. Senja tersenyum dan hanya ucapan "terima kasih" yang mendarat di telinga Goar atas usahanya. Pintu jendela tertutup dan Goar mencari cara untuk bisa keluar dari wilayah Panti Asuhan. Matanya jeli memilih jalan, berharap ular yang dibicarakan Senja tak muncul.

"Coba buka, Senja. Aku penasaran apa yang diberikan Bang Goar kepada kamu..." Ucap Birra dengan wajah penuh antusias. Wajahnya mengembang dan merona seakan puisi itu ditujukan kepada dirinya. 

Senja keheranan. Wajahnya sedikit tak percaya dengan apa yang dilihatnya dalam diri teman sekamarnya itu. "Birra Riyadh Elsima, kenapa kamu jadi yang antusias? Goar memberikan puisi ini untuk aku, seharusnya aku dong yang antusias."

Birra hanya membalas dengan senyum lebar memperlihatkan susunan gigi seri yang teratur berjejer mengisi rongga mulutnya. Pipinya memerah. Birra tak peduli kepada siapa suatu barang diberikan. Ia hanya memahami bahwa ia menyukai segala sesuatu yang diberikan oleh Goar. 

Senja Merah Jambu

Aku lihat sore ini kalau senja bukan lengkungan oranye mengisi langit.
Aku melihat senja tergambar dengan palet merah jambu,
warnanya indah mengguratkan cantikmu,
yang diam menatap sisi kalbumu yang diam dan nampak kelabu.

Mataku hangat menatap senja merah jambu yang terpapang malu,
ia malu tak menjadi dirinya yang biasa,

ia malu karena ia berbeda dari yang lainnya,

ia malu karena sengatan cinta tak mempan menembus tembok hatinya.

Senja merah jambu.

Aku ingin selalu bergetar dan berderap bagai kaki tentara yang seirama dan serasa,

aku ingin menyatu dalam pikiranmu yang selama ini diam aku terka,

aku ingin melambungka rasa yang belum pernah sekalipun kamu terima,
aku ingin setia seperti pelangi menemani hujannya. 

Kata-kata itu mengalunkan perasaan Senja. Pikirannya melayang-layang menatap maksud Goar melalui puisi yang ia tulis. Senja mampu menangkap satu guratan perasaan yang tulus ditukar oleh Goar melalui rasa di dalam puisinya. Senja Merah Muda, begitu ia menyapa Senja. 

"Ini, buat kamu saja. Puisinya jelek. Aku tak suka!" ucap Senja menyerahkan puisi itu kepada Birra. Tentu saja, penawaran ini tak mungkin Birra lewatkan. Koleksi barang-barang dari Goar semakin banyak dan lengkap di lemari berkasnya. 

Senja kemudian meringsek ke dalam kasur dan memeluk guling erat menghadap ke tembok. Ia tak membiarkan Birra menatap wajah bingungnya setelah membaca puisi Goar. Sudah lama ia menangkap sinyal itu kalau Goar sungguh memberikan hatinya, tapi ia berat memberikan hatinya kepada orang yang masih dipikir tak pantas. Senja larut dalam dilema seraya malam bergerak menyambut pagi. 

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang