Pasca peristiwa Goar, Senja menjadi sosok lain di hidup mamak Goar. Sepulang kuliah, ia harus pintar membagi waktu untuk menjaga dan mengurus mamak Goar. Ia sendiri sedih melihat bagaimana mamak Goar setelah kejadian itu. Ia hanya senantiasa melamun dengan tatapan kosong. Di pikirannya, mengulang-ulang memori yang terekam bagaimana darah segar menyelimuti wajah suaminya yang habis dipukuli dengan kunci Inggris. Senja jadi merasa bersalah, andai ia bisa menghentikan tindakan Goar waktu itu.
"Mak, makan dulu. Sudah malam, aku sudah buatkan makanan kesukaan mamak, sayur daun singkong tumbuk. Memang tak seenak buatan mamak, tapi aku coba menyesuaikan rasanya. Makan ya?" ucap Senja sambil menata piring-piring makanan dan lauk di meja makan. Matanya sesekali menengok dengan khawatir keadaan mamak yang masih saja melamun. Sudah 2 bulan lewat hanya dengan melamun. Tubuhnyapun semakin kurus.
"Bawakan saja ke sini, butet. Mamak mau makan di sini," ucap Mamak sambil matanya menatap kosong di teras depan. Segelas air putih yang tadi pagi disiapkan Senja masih penuh tak tersentuh sama sekali.
Senja sigap mengambil piring, nasi secukupnya, dan meletakkan sayur daun singkong tumbuh di atasnya. Tak lupa sedikit sambal di pinggir sebelah kanan. Senja berjalan perlahan membawa piring dan segelas air putih baru. Ia duduk kursi yang terletak di seberang kursi Mamak. "Nah, ini makanannya. Aku suapin ya, mak?" ucap Senja mencoba tersenyum. Mamak menengok perlahan menatap Senja yang teduh menatap wajah tua dan keriput Mamak.
Senja mulai mengaduk nasi dengan lauk dan menyuapkan sedikit demi sedikit makanan itu ke mulut mamak.
"Malam ini jauh lebih tenang dari malam-malam sebelumnya, butet. Malam ini jauh lebih tenang..." ucap Mamak sambil kemudian air mata kembali basah di pipinya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi 2 bulan lalu.
"Mamak, sudah. Jangan menangis lagi! Nanti makanannya jadi tidak enak, padahal aku sudah buat seenak mungkin," ucap Senja sambil tangannya meraih pipi Mamak dan mengusap habis air mata yang menetes tadi.
Mamak meraih tangan Senja. Wajahnya menatap kosong ke ara Senja. "Kau wanita baik. Tak banyak di jaman sekarang ini wanita yang baik seperti engkau, Butet. Mamak ini bukan siapa-siapa kau, hanya mamak dari kawan kau, si Goar yang bodoh itu! Bodoh dia, emosinya meledak-ledak macam Bapaknya dulu. Hanya beda nasib saja, Bapaknya dibunuh tapi dia masuk penjara."
"Sudah, Mak. Ayo, makan lagi. Enak loh ini! Enak kan, Mak?" ucap Senja menghentikan perangai Mamak yang mulai menyeringai mengingat Goar dengan tangannya.
"Enak. Kau memang orang Sumatera. Tanganmu lembut macam aku muda dulu," ucap Mamak sambil meraba lembut tangan Senja. "Tahukah kau kalau aku bermimpi punya anak perempuan supaya momen seperti ini bisa sering terjadi? Tapi, bapaknya Goar dulu ingin punya anak laki-laki supaya bisa meneruskan marganya atau aku dicerai, jadilah muncul Goar itu! Itu sebabnya tak ada cinta lebih besar Mamak selain Goar setelah Bapaknya meninggal. Sayang, dia itu bodoh."
Senja menyuapkan lagi sesendok penuh nasi dengan sayur ke mulut Mamak. "Kalau Mamak mau, Mamak bisa anggap aku anak perempuan Mamak sendiri. Mamak itu mamaknya Goar, sahabatku dan sudah barang pasti, mamak juga mamakku."
"Kau cinta Goar?" tanya Mamak membuat lidah Senja kelu. Pertanyaannya membuat lidahnya tercekat dan tak ada kata-kata yang bisa menjawab itu. Hatinya sendiri bingung bagaimana menjawabnya. "Tak apa kalau tak cinta Goar. Dia bodoh memang, tapi kau harus tahu bahwa tak ada wanita yang dicintainya selain kau. Seorang Senja harusnya beruntung."
"Ratvika?" Senja membalas sepotong.
Senja bersandar ke sandaran kursi. Menghela nafas. "Ratvika itu hanya pelarian Goar dari rasa sakitnya mengingat kau sudah jadi tunangan orang lain. Begitulah laki-laki, mereka bagai ikan dan kail. Ketika satu kail dirasa menarik, mereka bersedia menancapkan mulutnya ke kail itu walau sakit. Bagi mereka, sakit itu kenikmatan. Untuk itu, bagi Goar, lebih baik dirinya sakit dan melihat kau bahagia ketimbang melihat kenyataan sebaliknya."
Senja merenung. Tangannya masih cekatan menyuapkan makanan ke mulut Mamak diikuti dengan mengantarkan gelas air untuk Mamak minum.
"Aku mungkin bukan mamak kau, Senja. Tapi dengarkan kata-kataku ini, butet! Kalau garis Senja di kala sore hari saja indah, hidupmupun harus indah seperti namamu yang dengan sengaja jadi doa dari orang tuamu. Bahagiakan dirimu! Jangan pernah kecewakan mereka yang sudah percaya kau bisa bahagia!" ucap Mamak dengan tatapan wajah serius tiba-tiba. Tangannya cepat menyentuh tangan Senja. Ada getaran lain yang tak pernah ia rasakan dari sentuhan itu. Getaran cinta seorang ibu.
***
Pukul 9 malam setelah Mamak terlelap dalam tidurnya, Senja pulang ke Panti. Dengan rok panjang, kaus lengan panjang berwarna kuning, dan sendal jepit, ia berjalan riang menyusuri jalan-jalan menuju Panti Asuhan. Kakinya bersert-seret bertemu dengan aspal merusak ketenangan malam yang sedang dinikmati banyak orang.
Langkahnya terhenti ketika jaraknya sudah tak jauh dari panti asuhan. Matanya terpasang lebih kuat lagi untuk memperhatikan sebuah mobil minibus hitam yang terparkir di depan panti. Plat depannya BH -- plat kendaraan khusus kota Jambi. Wajahnya terheran-heran sambil perlahan berjalan lagi.
"Siapa ya? Platnya plat Jambi, tapi..." ucap Senja sambil menggaruk-garuk kepala. "Jangan-jangan kedua orang itu lagi Gawat!"
Senja lantas berlari dan cepat-cepat masuk ke dalam panti asuhan. Wajahnya cemas bukan main. Peluh di wajahnya tak dipedulikannya. Ia bodo amat dengan kakinya yang diam-diam tergores aspal sehingga mengeluarkan sedikit darah. Perih, tapi paniknya lebih besar luar biasa.
Pintu pagar sudah terlewati dengan cepat, tak seperti biasa, Senja tak menghiraukan pintu pagar yang mengganga terbuka lebar. Di pikirannya hanya ada Bu Apik yang mungkin sedang ketakutan, khawatir, atau sedih karena diintimidasi oleh dua orang itu lagi.
"Bu Apik... Ibu... Tidak... Apa-apa?" ucap Senja sepotong-sepotong mengucapkan katanya. Pikirannya salah, Bu Apik justru berbahagia dengan tamu yang ternyata Bu Widya, Bunda Avgi yang datang juga dengan anaknya. "Avgi? Kamu kok nggak bilang aku kalau kamu mau balik ke Jambi?"
Avgi yang duduk bersandar dengan kemeja biru donker dan celana bahan hitam memperhatikan Senja dengan heran. Ia seperti aneh melihat tingkah laku Senja. Biar begitu, Senja tak memperhatikan perangainya tersebut. Ia tetap berjalan teguh ke arah Avgi dengan senyum cintanya yang menyala-nyala terpancar dari dalam hati.
"Tuh, Gi! Ada Senja! Coba kamu berdiri dan sapa dia?" ucap Bu Widya berbisik pelan di telinga Avgi yang kemudian lantas berdiri dan beranjak dari posisinya.
Senja datang, lalu memeluk tubuh Avgi. Tercium bau parfum Boss yang seringkali Avgi pakai. Tangan Senja memeluk erat tubuh Avgi, namun Avgi tak membalas pelukan itu. Tangan Avgi kemudian perlahan melepas eratnya cengkraman Senja.
"Gi? Kenapa?" ucap Senja yang terpaksa melepaskan pelukan itu. Ia terhenyak. Ada sesuatu yang aneh terjadi pada Avgi.
Avgi menatap mata Senja, seolah sedang mempelajari sesuatu dari raut wajah dan mata cokelat wanita itu. "Kamu siapa? Kenapa main peluk saya? Kita pernah kenal?"
Mendengar itu, dunia Senja mendadak goyang. Lantai-lantai seperti bergetar lalu terbongkar. Ia kepalanya mendadak pening seperti ada gempa bumi hebat di kepalanya. Rentetan pertanyaan itu bukan respon yang diinginkan Senja.
"Kamu lupa sama aku, Gi? Baru 7 bulan kamu ninggalin aku, sekarang kamu sudah lupa sama aku, Gi?" ucap Senja sambil air matanya perlahan jatuh. Sebesar jagung, tapi mewakili hancurnya perasaannya. "Aku memang tidak cantik. Aku memang tak seperti wanita Jakarta, tapi hal paling pahit itu adalah dilupakan. Aku tak suka dilupakan, tak ada yang suka."
Senja menutup matanya. Ia mencoba tegar di hadapan lelaki itu. Sayang, air matanya deras mengalir dari hati. Ia hancur dilupakan. Ia hancur ditinggalkan. Kakinya melangkah menuju kamar dan meninggalkan Avgi, Bu Apik, dan Bu Widya.
Avgi menatap Bu Widya. "What? Kenapa? Aku salah?"
"Tidak, sayang. Sudah sini duduk. Kamu jangan banyak mikir, dokter bilang kamu harus hindari mikir yang berat-berat. Kondisi kamu belum pulih betul," ucap Bu Widya mencoba menenangkan Avgi yang nampak kebingungan.
Avgi ingin sekali tak memikirkan perihal wanita yang baru ia temui itu. Ia mau tanya apa alasan dia menangis, tapi ia sudah pergi. Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalanya seperti ada kata-kata tak kasat mata yang terus berulang dan berucap di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]
Chick-Lit[Long List Wattys 2018] Arkadewi Senja Dwiyana terus menutup dirinya dari cinta. Baginya, cinta hanya membuatnya terluka hingga jadi tak berdaya. Hanya Avgi, seorang pria yang sebelumnya dianggap sombong, yang mampu meluluhkan dinding keras hati Sen...