33-Saya Menunggu

378 27 6
                                    

"Jadi gitu. Ini juga pesan terakhir Bu Apik supaya aku berjuang dan mencoba merubah ingatan Avgi," ucap Arkadewi dengan mata nanar dan suara berbisik menjelaskan pada Goar. "Jadi, aku harap kamu mau bantu aku, bagaimana?"

Goar memajukan tubuhnya. Ia menopang dagunya pada tangan yang bertumpu di lutut. "Seberapa besar kesempatan ingatan Avgi akan pulih? Kau harusnya tahu sejak awal, Senja..."

"Dewi... tolong panggil aku Arkadewi di rumah ini dan setiap kali di depan Avgi," Senja menyelak. 

"Oke. Sorry. Kau harusnya paham Dewi kalau ini adalah misi mustahil. Yang aku tahu, amnesia yang dimiliki Avgi adalah amnesia parah. Hanya keajaiban yang bisa mengembalikan ingatannya," ujar Goar menjelaskan kepada Arkadewi. 

Arkadewi menyentuh bahu Goar yang gusar. "Aku sedang mengerjakan keajaiban itu, Goar. Kaupun tahu bahwa keajaiban bukan ditunggu, tapi dilakukan dan dikerjakan. Misi itulah yang aku percayai akan berhasil."

Goar menghadapkan wajahnya ke arah Arkadewi. Mata bertemu dengan mata. Iris mata Goar membesar, melihat begitu besar keyakinan tersiar dari tatapan itu. Ia memegang tangan Arkadewi pelan.

"Sekarang jawab aku. Seberapa yakinnya dirimu kalau ingatan Avgi akan kembali pulih?" tanya Goar sambil sedikit kencang memegang tangan Arkadewi. 

Arkadewi menggeleng. Ia sendiri tak tahu hendak menjawab apa.

"Nah, kau sendiri tak tahu apa jawabannya. Ini kemustahilan yang kau coba jadi nyata, mau sampai kapan?" tanya Goar dengan sedikit intimidasi pada Arkadewi.

Goar menatap Arkadewi. Tak ada semangat dalam dirinya.

"Jadi, sudah berapa lama Goar ada di Jakarta?" tanya Bu Widya sambil berjalan membawa nampan berisi 3 cangkir teh manis, padahal bajunya sudah siap mau ke kantor.

"Baru saja sampai, Bu..." jawab Goar merubah air mukanya jadi sipu-sipu malu.

Bu Widya meletakkan nampan, lalu duduk tepat di seberang Goar. "Lalu, hendak apa di Jakarta?"

"Eeeee... anu," Goar coba berpikir jawaban yang pas.

"Bekerja! Iya, bekerja. Goar ingin bekerja," jawab seketika Arkadewi mengejutkan semuanya. Goar tak senang dengan jawaban itu.

"Bekerja? Benar begitu, Goar?" tanya Bu Widya lagi memastikan.

"I--iya, Bu, itupun kalau ada lowongan," malu-malu Goar menjawab. Ia sebenarnya tak ingin bekerja di Jakarta, ribet! Tapi kalau pekerjaan itu bisa buat dirinya lebih dekat dengan Arkadewi, ia setuju saja.

Bu Widya memutar bola matanya, mengingat-ingat apakah rekanannya punya lowongan. "Aduh, sepertinya tidak ada tuh, Goar..."

Goar lesu. Memang sudah takdirnya tak bisa berdekatan dengan Arkadewi.

Tak lama, Pak Winata turun dengan kemeja biru, dasi putih, dan jas menggantung di lengannya. Wajahnya kusut, padahal setelah bajunya sudah oke. Persis orang kaya sekali.

"Kenapa wajahmu kusut begitu, Yah?" tanya Bu Widya memindahkan perhatiannya.

"Pak Aziz, beliau sakit lagi," keluh Pak Winata sambil duduk di samping Bu Widya. "Memang dudah usianya dia pensiun kali ya, Bun. Tapi, siapa yang gantikan dia dong?"

"Goar saja, Pak!" jawab Arkadewi dengan sumringah.

Pak Winata terkejut. "Dewi! Kamu bikin saya jantungan saja! Kaget nih!"

"Maaf, Goar saja, Pak!" ucap Arkadewi pelan.

"Goar ini kawannya Dewi di Jambi, Yah. Ingat gak? Dia datang ke Jakarta mau cari kerja," jelas Bu Widya pada suaminya.

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang