39 - Penyatuan Kedua

712 32 6
                                    

2 tahun, 24 bulan, 104 minggu, 703 hari kemudian. 

Senja sudah sampai di Indonesia sejak 1 minggu yang lalu. Hatinya rindu dengan seluk-beluk Indonesia yang tak ditemui di Inggris. Selama masa riset dan pengerjaan tesisnya, ia hampir berkeliling ke seluruh kota terkenal di Inggris, mulai dari London hingga Liverpool. 

Semua itu ia kerjakan hanya untuk mendapatkan kesimpulan pengembangan sastra inggris kuno hingga sekarang. Paling tidak, itu yang jadi bahan dasar munculnya naskah novel pertamanya Let Me Breathe. Jangan tanya apakah buku itu sudah diterbitkan! Senja tak ingin mempublikasikannya, namun kawannya Janet McDonough diam-diam membawa ke penerbit dan hasilnya lulus sensor. 2 minggu lagi, novel itu akan rilis.  

Pagi-pagi benar, di Kota Bandung, Senja duduk termenung sendirian ditemani secangkir kopi susu hangat yang menyemarakkan suasana hatinya. Pohon-pohon dengan bunga dan buah yang sudah ranum menjadi hiasan matanya. Ingin ia memetiknya, tapi semua itu adalah properti pemerintah daerah. 

Baginya, suasana Bandung kala pagi tak jauh bedanya dari Manchester ketika awal membuka hari. Hanya saja, orang di Bandung lebih senang tersenyum kepada orang asing ketimbang di Inggris. 

Di sana, butuh keberanian lebih untuk tersenyum pada orang asing. Tanggapannya beragam: Ada yang menganggap dirinya orang gila, ada yang mencurigainya, dan ada pula yang membalas senyumnya, lalu meminta kontak dirinya. Tentu, ia dengan ramah memberikan kontak, namun bukan kontaknya melainkan kontak Janet. 

Selepas kopi pagi hari selesai, Senja bergegas menuju satu Universitas di Bandung untuk menemui sang Rektor. Janjinya pukul 9 pagi. Walaupun masih pukul 7 saat ini, Senja tetap melangkahkan kakinya cepat-cepat seperti kuda di landasan pacu. 

Wajah Senja tertunduk dengan satu topi bundar berwarna merah kesukaannya. Itu adalah pemberian Donovan McDonough, adik Janet McDonough. Lelaki kecil itu meninggal karena kanker hati yang dideritanya konon sejak lahir. Bagaimana munculnya, entahlah Kun Fayakun

Senja sibuk mengacak-acak tas jinjingnya. Ia panik karena flashdisk yang berisi data untuk promosi ke Rektor tak ada. Mungkin terselip, pikirnya. Selagi kakinya melangkah, mata dan satu tangannya sibuk mencari. 

Brak! Bahu kecilnya menabrak bahu seorang pemuda yang lebih tinggi sedikit daripadanya. Hatinya makin kesal. Naik pitam dirinya dibuat. 

"Mas, kalau jalan lihat-lihat dong!" sahutnya melampiaskan kemarahan. 

"Loh, mbak yang harusnya..." lelaki itu terhenti. Ia membawa seorang bayi yang digendong dengan gendongan di depan. "Astaga! Senja?"

Senja melepaskan kacamatanya dan mulai menggosok embun yang mungkin muncul. Semenjak di Inggris, kesehatan matanya kurang baik. Kacamata jadi penolongnya untuk melihat. Lebih baik daripada mengenakan contact lens.  Matanya dikucek cepat-cepat.

"Avgi?" Senja menyahut dengan takjub. "Astaga! Apa kabar kamu? Kok bisa ya kita ketemu di Bandung. Pagi-pagi begini lagi!" 

"Itu dia! Ya, mungkin ini yang dinamakan jodoh," Avgi membuat lelucon yang membuat keduanya tersipu malu. "Kamu kapan datang ke Indonesia?" 

"Satu minggu yang lalu. Maaf aku jarang membalas surat berisi puisimu. Inggris punya pendidikan yang amat ketat jadwalnya, tak ada waktu," Senja menjelaskan dengan senyum sambil menatap wajah tampan yang sedikit ia rindukan. Senyumnya luntur mendadak melihat bayi yang digendong Avgi. "Bayi?"

Ada perasaan sedikit kecewa di hati Senja. Avgi lagi-lagi ingkar janji. Ia yakin betul bahwa terakhir kali mereka berbicara, lelaki itu mengatakan akan menunggunya kembali. 

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang