11-Menyentuh Hati

434 32 27
                                    

Malam semakin larut, Goar tidur di ruang tamu Panti sementara Senja perlahan menyelimuti lelaki Batak itu. Mata Goar sudah mulai memejam dan meninggalkan Senja yang memperhatikan seksama wajah tegas Goar yang tidur. Ia tampan juga, Senja berbisik dalam hati.

Tangannya bergerak, hendak menyentuh kontur wajah tegas yang baru saja terlalap api emosi tadi. Ia menekuk lutut dan perlahan memanjangkan tangannya untuk menyentuh wajah Goar. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu menyeringai.

Senja membatalkan niatnya. Ia beranjak dari posisinya dan mulai melangkah menuju pintu besar yang dibuat dari kayu Jati Jawa. Sesekali, jika dekat, bau pelitur masih santer tercium.

"Siapa malam-malam begini datang..." Gerutu Senja yang menyusuri jejak menuju pintu.

Tak ada yang terbangun, kecuali Senja yang memang terganggu dengan kehadiran orang ini. Rasanya ingin ia ajari adat berkunjung pada orang ini, tak kenal berapa umurnya.

Kunci terbuka dan pintu digerakkan. "Senja... tolong kamu dengerin aku dulu..." Avgi muncul di balik pintu. Ia paham kalau kehadirannya tak diinginkan Senja tapi ia hanya ingin wanita itu tahu kebenarannya.

Senja mendadak naik pitam. Ia menggerakkan pintu dan biarkan kembali tertutup dan terkunci. Avgi menahan laju pintu itu cepat-cepat. "Mau sampai kapan larut dalam kemarahan? Mau sampai kapan kamu menghindari aku hanya karena hal kecil semacam itu," Avgi melantangkan seruan yang membuat aksi saling dorong pintu itu semakin seru.

Senja terhenyak. Ia berhenti mendorong pintu dan membuka pintu itu lebar-lebar. Ia melangkah lebih dekat ke tubuh tinggi Avgi. Plak! Satu lagi tamparan dari Senja mendarat mulus ke wajah Avgi. "Kamu itu lelaki sombong, Avgi. Aku hanya tak suka lelaki sombong. Jika soal janji kecil saja tak bisa kamu pegang, bagaimana bisa kamu memegang janji yang lebih besar? Aku hanya tak mau menyerahkan hatiku kepada orang tak bertanggungjawab macam kamu."

Avgi tertegun. Tangan kirinya memegangi pipi kiri yang memerah terkena tamparan. Hatinya sedikit remuk karena penolakan itu kembali muncul dari wanita ini. Tak ada wanita yang pernah menolaknya berkali-kali seperti Senja. Di Jakarta, tak butuh waktu lama untuk dapat wanita cantik bagaimanapun, kebanyakan dari mereka bisa buta sama kekayaan.

Senja menutup pintu itu dengan agak keras, nyaris mengenai ujung hidung mancung Avgi. Sesudah menutup pintu, Senja hanya bersandar di pintu sambil terhenyak tak mampu. Avgi benar, ia takkan bisa bertahan lebih lama lagi marah kepada salah satu lelaki yang sudah mulai menyentuh hatinya.

"Aku tahu kamu masih mendengarku, Senja. Aku tahu hatimu masih bisa merasa, aku kenal betul siapa Senja. Membenci bukan ciri khas Senja. Aku akan tetap di sini sepanjang malam sampai kamu memaafkan dan mau mendengarkan aku," Avgi berteriak lantang. Ia kemudian melangka menjauh dari pintu dan berdiri di depan teras panti, tanpa atap. Rintik hujan bisa ia rasakan jatuh di kulitnya.

Air mata itu mengalir dari ujung mata Senja. Ia meninggalkan pintu dan berjalan ke arah kamarnya. Goar terbangun dan matanya membuka. Ia melihat gerak gerik kesedihan dari Senja.

Ketika tangannya mengenggam knob pintu, seseorang mencuat dari belakangnya. "Kamu pernah tanya sama ibu siapa yang layak diberikan maaf dan kesempatan kedua, kan? Ibu akan jawab, Senja. Setiap orang berhak akan kesempatan kedua karena tak banyak orang yang pandai memanfaatkan indahnya kesempatan pertama. Lapangkan hatimu dan legakan maafmu, terutama pada sosok lelaki yang kamu cintai. Ikuti kata hatimu."

Senja membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tak membalas apapun kata-kata Bu Apik yang mencoba memberikan penjelasan padanya. Saat ini, ia mencoba mendengarkan apa yang ia rasakan. Tubuhnya lalu merebah di tempat tidur, lalu sejenak terbangun. Ia melihat Avgi yang masih kuat berdiri di luar.

Tak lama, hujan deras turun menerpa tubuh Avgi. Senja bisa paham kalau sebentar saja Avgi di sana, ia bisa menggigil dan mati kedinginan. Senja ingin keluar dan memakaikan payung, tapi egonya masih melarangnya melakukan itu. Ia masih kesal dan marah pada lelaki yang tak menepati janjinya. Ia merebah, lalu tertidur.

Pukul 02.15, 3 jam lebih 15 menit setelah waktu terakhir ia lihat Avgi, Senja tersentak kaget. Ia justru merasa bersalah karena tertidur. Ia mengecek jam dan menghitung sudah berapa lama ia tertidur.

"Avgi..." tubuhnya lalu bergerak menyongsong jendela. Dilihatnya Avgi masih kuat berdiri di depan panti. Bibirnya mulai membiru dan badannya mulai mengigil kedinginan. Hujan masih deras menerpa tubuh lelaki itu.

Senja buru-buru keluar dan mengambil payung besar di kolong tempat tidurnya dan satu payung lainnya milik Birra. Ia berjalan cepat menuju pintu, melewati tempat dimana Goar tertidur. Ia melihat lelaki Batak itu sungguh baik, tak lagi tegas dan larut dalam amarah.

Kunci pinti dibuka dan Senja muncul di hadapan Avgi yang kedinginan. Angin malam dan hujan mulai menusuk ke tulangnya. Payung menebar dan Senja mulai mendekat ke arah Avgi. Tangan kirinya masih memegangi payung milik Birra.

Avgi masih terbalut dengan air. Bibirnya membiru dan giginya gemetar. Senja tak jua memayungi dirinya walau wanita itu paham betul keadaan Avgi sebenarnya.

"Apa yang mau kamu utarakan? Aku nggak mau dengar janji atau kebohongan lain. Jadilah lelaki sungguhan, bukan lelaki dungu yang tak bisa bedakan janji dengan ucapan biasa," ucap Senja dengan wajah marah. Matanya tajam menatap mata Avgi yang sayu diterpa air hujan.

"Aku sebenarnya mau menjelaskan kalau aku kemarin pergi dengan Farah untuk memberi kamu sesuatu," ucap Avgi dengan suara gemetar. Tangannya pelan-pelan membuka resleting jaketnya dan mengeluarkan satu bungkus plastik. "Ini... aku tak tahu apakah sudah basah atau bagaimana. Semoga plastik itu melindungi..."

Senja menerima bungkusan itu dengan hati yang masih dongkol dan marah. Tangannya pelan-pelan membuka bungkusan plastik itu. Ia terkejut dengan apa yang ia lihat di dalam plastik itu.

"Aku tahu kalau kamu membutuhkan dua hal itu untuk prom night kampus besok. Aku minta Farah memilihkan sebelum dia kembali ke Jakarta besok. Ya, dia juga agak berat memilihnya karena aku bilang itu untukmu, jadi maaf kalau warnanya tak sesuai. Semoga kamu suka gaun dan high heels yang aku beli," Avgi berujar sambil gemetar. Senja hanya terperangah melihat kekeliruannya selama ini. Tak disadarinya, air mata haru itu mengalir jatuh bersama air hujan.

Sambil menggenggam bungkusan itu, Senja maju perlahan ke Avgi dan memayungi lelaki itu dari hujan. Ia lupa bahwa ia membawa payung yang ingin ia kasih ke Avgi. Sorot mata Avgi dan Senja bertemu dalam derasnya hujan. Mereka hanya menatap tanpa melakukan apapun.

Senja melempar jauh payung yang sedari tadi memayungi mereka berdua. Kini, keduanya sama-sama basah di hujan malam ini. Senja kemudian memeluk erat tubuh Avgi yang mulai basah. Hangat sekejap mengalir ke tiap sudut tubuh Avgi, tak lagi dingin yang dirasa.

"Kamu sadar kan kalau tubuhku basah? Kamu juga sadar kan kalau tanpa payung, kamu juga ikut basah?" Avgi membisikkan kata-kata di tengah terpaan hujan malam.

Senja mengangguk. Tangannya semakin erat memeluk lelaki itu. Ia pahami bahwa kekeliruannya selama ini. "Maaf. Selama ini aku keliru menilaimu, Gi. Maaf karena sudah 2x menampar wajahmu."

"Tiga kali tepatnya," Avgi mulai balas memeluk Senja. Keduanya mendadak hangat di tengah hujan deras yang menerpa. "Jadi kamu mau jadi wanita yang mendampingi aku di prom night besok?"

Senja melepaskan pelukannya dan menatap mata indah bola pimpong milik Avgi. "Apa mungkin aku menolak setelah aku keliru menilai kamu?"

Avgi tersenyum. "Oke, kalau begitu kita harus belajar dansa saat ini," Avgi mulai meletakkan tangannya di pinggul Senja dan mengarahkan tangan Senja melingkari lehernya. Tap, tap, tap... langkah demi langkah mereka lakukan, sampai kecupan Avgu mendarat di kening Senja.

Keduanya begitu anggun menari dalam hujan. Goar terbangun dan melihat dari balik jendela. Hatinya remuk redam. Perasaannya tak karuan. Ingin menangis, tapi ia lelaki. Malu untuk melakukannya. Ia hanya bisa menatap kemesraan wanita yang dikasihinya dengan lelaki lain. "Kalau ini cinta, biarlah cinta yang membisikan pada dirinya, Tuhan. Sudah habis kataku untuk meyakinkan bahwa rasaku suci."

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang