26-Tugasku Selesai Di Sini

388 27 21
                                    

Termenung dan membisu, itu yang Goar dan Senja lakukan. Di dua tempay berbeda dan di depan makam yang tak sama, keduanya duduk termangu menatap nisan yang dibuat dari kayu berlapus cat putih dengan nama dan tanggal lahir Mamak dan Bu Apik besar terlihat.

Pagi itu semua prosesi pemakaman telah usai dilaksanakan. Mulai dari jam 6 pagi, warga sudah sibuk mengurusi jenazah. Mamak dimakamkan di daerah dekat pantai. Ia sendiri dan tunggal. Dan, Bu Apik dikebumikan di depan panti, tepat di pekarangannya, persis sesuai permintaannya dulu. Senja tak peduli bagaimana orang Jakarta ini melihat kuburan ini, yang jelas ia yakin bahwa segila-gilanya orang Jakarta itu melarang, mereka masih punya nurani untuk tidak membongkar makam. 

Goar masih duduk bersila tepat di ujung kaki Mamak yang kaku dan terbujur di dalam tanah. Angin lembut menghantam kulit cokelat kehitaman yang sedikit kasar ketika siapapun menyentuhnya. Wajahnya sendu menatap awan kelabu yang menaungi makam Mamak. Sesal masih tumbuh subur di hatinya. Dua polisi masih ragu-ragu mengatakan bahwa waktu jam keluar penjara sementaranya sudah habis. Keduanya anak yatim, yang sudah paham bagaimana perasaan Goar.

Goar melemparkan sebiji demi sebiji bunga ke atas Makam mamak yang masih basah dengan air, air mata, dan doa. Hebat! Kematian Mamak menghenyakan hati kerasnya. 

"Goar, sudah saatnya..." ucap salah satu polisi dengan tag name, Purwanto Suaidi di dada sebelah kirinya. Suaranya berat menghancurkan kegalauan yang sedari tadi Goar rasakan. Dengan tangan terborgol, Goar mencoba bangun dan berdiri dibantu kedua polisi. 

"Aku pergi, Mak. Sampaikan cinta dan hormatku pada bapak, bilang pada lelaki hebat itu kalau aku menyayanginya dan sebagaimanapun aku mencoba menjadi sepertinya," ucap Goar sebelum melangkah pergi meninggalkan makam Mamak yang mulai berteman sepi bersama desiran angin. 

Di saat Ratvika dan Birra masih terduduk bersedih di depan makam, Senja mulai beranjak masuk. Kepalanya mulai mengingat bahwa ia hanya punya seminggu untuk mengurusi segala sesuatu demi anak-anak panti. Semua jadi tanggungannya. Setelah Bu Apik pergi, ia yang pegang kendali. 

Apakah bisa dengan tepat waktu memindahkan semua anak panti tanpa ada satupun terlantar?

Ia mengambil satu buku cokelat tebal yang di atasnya terdapat tulisan besar cetak komputer Daftar Panti Asuhan di Indonesia. Senja memperhatikan nama dan daerahnya satu per satu dan kemudian mengangkat gagang telepon, lalu menghubungi mereka satu per satu. Beberapa diantaranya kenal dengan Senja karena pengurus panti itu adalah kawan akrab Bu Apik sendiri.

"Akak, Akak!" seseorang berlari menuju Senja. Itu Evan, anak panti paling kecil yang senantiasa ditimang-timang Bu Apik. "Bang Goal ada di depan."

Senja tersentak. Ia buru-buru meletakkan gagang telepon sambil refleks menggendong Evan keluar bersamanya. Larinya terburu-buru hingga tubuh kecil Evan terguncang-guncang. Senja berlari hingga saatnya sampai di depan wajah Goar yang mencoba tersenyum dan gembira dihadapan Senja.

"Sudah saatnya?" tanya Senja halus. 

Goar mengangguk, tanpa kata.

"Ini, aku hanya bisa menemanimu dengan ini. Aku harap kau menyimpannya hingga kelak kita bertemu lagi," ucap Senja sambil mengambil sepucuk kertas warna ungu yang terlipat rapi dari kantungnya. Ia menyerahkannya dengan senyum simpul yang diciptakannya melawan arus kesedihan yang menguap di dasar hatinya. 

Goar mengambilnya, lalu melangkah pergi dari hadapan Senja. Wanita itu melambaikan tangan yang hangatnya menyerupai sentuhan hujan di bulan Juni atau musim semi di Jepang. 

Di awal hari, 
izinkan aku menghembuskan nafas nurani yang menenangkan hatimu,
merebahkan emosimu di pundakku,
hingga kau temui dimana peraduanmu.

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang