10-Rumah

444 32 24
                                    

"Rumah... Bagaimana dengan rumah? Apa yang bisa kalian tangkap dari sebuah kata itu," tanya Prof. Julian, dosen mata kuliah Simbolisme, kepada mahasiswa di kelasnya, termasuk Senja. 

"Tempat berteduh atau bernaung," jawab seorang mahasiswa mencoba mengutarakan jawabannya sambil satu tangannya mengacung tinggi di udara. 

Prof. Julian hanya melipat kedua tangannya di depan dada, memejam mata, dan menggeleng-geleng. "Nyaris, ada lagi?'

Kelas hening. Semua terpaut dalam sebuah pemikiran, walau tak semua berpikir untuk menjawab pertanyaan itu. Ada yang terpikir untuk keluar dari kelas duluan menuju kantin dan bercengkrama. 

"Bangunan, Prof?" Seorang mahasiswi mencuat dengan jawabannya. 

Prof. Julian membuka matanya dan mendelik. "Siapa yang menjawab itu?" 

"S--saya, Prof..." Mahasiswi bernama Kurnia malu-malu dan sedikit takut menyatakan jati dirinya. 

Prof. Julian berdiri, berjalan sedikit ke arah Kurnia, dan melihatnya dalam-dalam. Suasana mendadak menjadi menegangkan seperti pengumuman Indonesian Idol atau pengumuman Pemilihan Umum. "Kamu tahu, jawaban kamu mirip seperti anak saya yang umurnya 5 tahun. Dia menjawab itu karena pikirannya memang belum mapan. Bagaimana dengan kamu? Umur sudah 20an tahun, menjawab begitu? Malu tidak?"

Kurnia menunduk lesu. Kata-kata Prof. Julian, Professor termuda di kampus. Usianya masih 34 tahun tapi gelar akademik mewah itu sudah digenggamnya sejak 2 tahun lalu. "Tak ada lagi yang bisa menjawab dengan tepat? Ada 32 orang di sini, berarti seharusnya ada 32 pemikiran intelektual di sini. Baru 2 yang mencuat ke permukaan, dimana 30 sisanya? Matikah jiwanya untuk berpikir?"

"Rumah itu adalah sebuah tempat dimana kita nyaman di dalamnya...," Senja berdiri dari arah belakang Prof. Julian yang kemudian memutar arah. "Tak perlu bentuknya bangunan, tak perlu berbentuk benda solid. Rumah itu juga bisa lunak, seperti hati manusia. Ketika kita nyaman dengan adanya dia di samping kita, dialah rumah bagi hati dan emosi kita. Sekian, Prof, maaf kalau saya lama berpikirnya."

Prof. Julian terperangah. Ia perlahan melepas kacamatanya, mengelapnya, dan memasangkan kembali. Sambil berjalan kembali ke mejanya, ia bertepuk tangan pelan. "Tepat! Jawaban kamu tepat, Senja! Kalian harus paham kalau simbolisme itu bukan hanya soal apa yang dilihat, tapi apa yang bisa kalian rasakan. Jika kalian diminta untuk menyatakan rumah, nyatakanlah bukan hanya apa yang Anda lihat, tapi juga apa yang Anda rasakan. Sekian kelas hari ini, selamat pagi."

Prof. Julian lantas membereskan peralatannya di meja dan bergegas keluar dari kelas. Senja buru-buru memasukkan buku-buku ke dalam tas dan mengejar Prof. Julian. "Prof... tunggu..." Senja memanggil.

"Hey, Senja. Ada apa? Kamu mau bertanya sesuatu? Masih belum cukup satu setengah jam di kelas tadi?" ujar Prof. Julian meledek. Wajahnya tersenyum, nampak sumringah. 

Senja menepi di depan Prof. Julian. "Kurang lebih begitu, Prof. Ada waktu untuk ngobrol?"

"Baik, bagaimana sambil makan di kantin? Karena kamu begitu antusias bertanya soal materi saya, saya yang traktir. Gimana?" ujar Prof. Julian dengan wajah yang meyakinkan. Kemeja garis-garis merah dan putihnya nampak mencolok, sedikit kurang kontras dengan celana bahan biru yang ia kenakan. 

Senja tak berbicara apapun. Ia hanya mengiringi langkah Prof. Julian menuju kantin. 

***

"Oke, apa yang kamu mau tanyakan?" ucap Prof. Julian sambil sedikit mencicipi es jeruk hangat yang tersaji tepat di depannya. Asapnya masih mengepul, menyatu dengan sisa-sisa embun pagi. 

"Soal cinta, Prof..." ujar Senja berbisik.

Prof. Julian terbatuk. Diambilnya gelas jeruk hangat tadi untuk melegakan dirinya. "Jika kamu tanya soal cinta ke saya, kamu salah orang, Senja. Pacar saya ya cuma istri saya itu. Satu-satunya, itupun setelah ditolak 10 kali."

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang