Arkadewi menyendiri di kamarnya sementara banyak keluarga dan tetangga Avgi yang datang untuk mendoakan jenazah Goar di ruang tamu. Wanita itu masih kalut dalam kesedihan. Rasa kehilangan nampak pekat berkubang di hatinya. Dengan kemeja longgar, celana hitam, dan kepala bertudung, Arkadewi duduk bersandar di tempat tidur. Ia tak sanggup lagi menangis.
Avgi berjalan perlahan ke kamar Arkadewi. Dengan baju koko membalut badan dan peci di kepala, ia ingin memegahkan hati Arkadewi yang sangat terpukul dengan kepergian Goar.
Avgi melangkah pelan-pelan. Tangannya membuka pintu kamar Arkadewi perlahan.
"Hey..." sapa Avgi lembut.
"Mau apa?" Arkadewi menjawab.
Avgi masih di luar. Ia masih enggan masuk. "Melihat keadaanmu. Kau baik saja?"
"Keluar!" Arkadewi mengusir Avgi.
"Ta-tapi..."
"Keluar!" teriak Arkadewi dengan nada yang lebih tinggi.
"Oke, oke! Baik jika itu maumu! Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Seperti yang kau lihat, tak ada yang baik ketika seseorang mengalami kehilangan. Ada ruang kosong di hati yang tak sanggup diisi oleh siapapun," ucap Arkadewi mengakhiri pembicaraan itu.
Avgi undur diri. Tak ada gunanya ia berada di tempat itu.
"Avgi..." panggil Arkadewi. Tangan Avgi tertahan sebelum pintu tertutup sempurna. "Aku yang akan memberangkatkan jenazah Goar esok. Aku pulang ke Jambi."
Avgi membuka pintu lagi. "Boleh. Tapi, kau akan kembali kan?"
Arkadewi menggeleng. Mata sendu berhadapan langsung dengan mata Avgi. "Untuk apa? Misiku selesai sampai di sini. Tak ada yang bisa aku perjuangkan lagi."
Avgi terkejut. Lidahnya tercekat, tak bisa berkata.
"Aku tahu kemana harus menguburkan Goar. Aku yang akan membawa Goar ke rumah peristirahatan yang diinginkannya," ucap Arkadewi lagi. Setiap kata membuat lubang di hati Avgi semakin besar. "Lagipula, aku tahu bahwa pernikahanmu dipercepat minggu ini. Lina yang mengatakan padaku. Jadi, aku tak ingin membebani keluargamu soal Goar dan aku."
Avgi hendak berbicara, namun terhenti oleh gerak tangan Arkadewi.
"Soal biaya, fokuskan saja ke pernikahanmu. Goar sudah punya cukup uang untuk kembali pulang, berikut dengan aku. Esok pagi, aku akan memulangkannya. Sekarang, pergi dan tutuplah pintu itu. Aku ingin sendiri," ucap Arkadewi mengusir Avgi dengan lembut. Lelaki itu tak melawan, ia melakukan apa yang diperintahkan Arkadewi.
Malam berlalu, pagi-pagi buta, ambulance yang dipesan Avgi semalam datang dengan sirinenya. Arkadewi semalaman di kamar, tapi matanya tak bisa terpejam. Ketika ambulance tiba, matanya sembab tergerus air mata.
Beberapa keluarga membantunya untuk menaikkan jenazah Goar. Tas jinjing miliknya dan tas gendong milik Goar menghiasi tubuhnya. Rambut panjangnya tak lagi bercahaya; kusam, kumal, dan sedikit berantakan. Perpisahan adalah hal yang tak disukainya. Selalu ada kesedihan ketika perpisahan itu terjadi, tapi semuanya harus terjadi.
"Lina, maafkan aku jika selama kita bersama, aku mengucapkan sesuatu yang menyakiti hatimu. Kau teman dan sahabat yang baik, aku beruntung Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan kau," ucap Arkadewi ketika langkahnya terhenti di hadapan Lina.
Lina tersenyum. Tangannya lembut mengatur helai-helai rambut tak beraturan di wajah Arkadewii. "Kau itu wanita yang kuat. Jauh lebih kuat dari yang pernah orang lihat pada kesan pertama. Tetaplah jadi wanita kuat yang menginspirasi. Kau menginspirasi banyak wanita di rumah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]
ChickLit[Long List Wattys 2018] Arkadewi Senja Dwiyana terus menutup dirinya dari cinta. Baginya, cinta hanya membuatnya terluka hingga jadi tak berdaya. Hanya Avgi, seorang pria yang sebelumnya dianggap sombong, yang mampu meluluhkan dinding keras hati Sen...