27-Laut Itu Berbicara Padamu

342 25 18
                                    

Seketika malam hendak berganti pagi, selepas Sholat Subuh, Senja lantas bertolak dari rumah Amri dimana ia menginap semalam ke Pelabuhan Muaro Sabak. Ia ingin mengambil pelayaran menuju Jakarta dengan lebih cepat. Tuan Bungkak, ayah Amri bersedia mengantar Senja ke pelabuhan yang jaraknya memang agak jauh dari kampung mereka. Ratvika memaksa ikut dan duduk di kursi tengah bersama Amri yang repot-repot membuntuti Ratvika. 

"Kenapa kau tetap memaksakan, Kak? Kau bisa tinggal bersamaku di keluarga ini. Tuan Bungkak sendiri sudah setuju untuk menampungmu, begitu juga Bu Respati," tanya Ratvika mencoba sekali lagi mengubah pikiran Senja. 

Senja tersenyum. Raut wajah tersenyumnya yang aduhai bisa dilihat Amri lewat kaca spion sebelah kiri mobil. "Sewaktu hidup, Bu Apik menyuruhku mencari kebahagiaanku. Inilah jalanku, Vik menuju bahagiaku. Kau takkan pernah tahu betapa aku bahagia menyongsong perpisahan kita beberapa menit atau jam lagi, dan menyambangi pintu perjuanganku yang terbuka lebar." 

"Tapi, kak..."

"Tenang saja, Vik! Aku bisa jaga diriku. Aku orang Sumatera, kau ingat itu? Wanita Sumatera tercipta dari lahir tangguh, semua itu aku genggam di diriku. Lagipula, aku pikir tugasku selesai di Jambi, saatnya aku memikirkan diriku dulu seperti kata Om Rimawan," ucap Senja mencoba memberikan penerangan bagi Ratvika yang tak sudi berpisah dengan Senja secepat ini. 

"Bukankah itu membuatmu jadi makhluk egois?" Amri menyahut. Ratvika malah menampikkan wajah Amri setelah pertanyaan itu terlontar. Tak seharusnya Amri ikut campur, dia lebih baik mendengarkan. 

Senja menengok, lalu berkata, "Kau benar, Am. Aku bisa jadi makhluk egois di muka bumi ini. Tapi sesungguhnya, manusia adalah mahkluk yang sangat egois. Jika tidak, dia bisa mati lebih cepat dari umur yang dijanjikan Tuhan dalam kitab suci. Ketika manusia makan, apakah ia mengingat orang lain yang mungkin tak makan? Tidak! Dan itu egois bukan?"

Amri mengangguk. Ratvika kesal dan matanya melotot ke arah Amri yang lantas menunduk. Ratvika jadi superior di atas Amri.

"Baiklah. Aku turut berdoa untuk kebahagiaanmu, Kak. Kelak, aku berharap kita bisa sama-sama tertawa lepad ketika bertemu," ucap Ratvika sambil menjulurkan tangan dan menyentuh bahu Senja.

"Amin..." sahut Senja. "Eh, tapi kenapa kau tak menjenguk Goar, Vik? Bukankah dia masih jadi kekasihmu yang hakiki?"

Ratvika terdiam. Otaknya mendadak mampet harus berkata apa. Amri hanya sanggup terkejut, tak bisa mulutnya membuka untuk bicara.

"Eee... anu, Kak..." Ratvika mencoba mencari kata-kata elakan yang pas. "Nanti, iya nanti setelah mengantar Kakak, aku datang menjenguk Goar di penjara. Bagaimanapun juga kasihnya masih hangat di hatiku."

Senja menoleh dan menunjukkan muka setuju. Jiwa dan tubuhnya sejenak berbeda letak; jiwanya sudah sampai di Jakarta, sedangkan tubuhnya masih kikuk terduduk di mobil yang melaju di jalanan Jambi.

***

Sinar matahari berkuasa menembus awan, mengeringkan kulit cokelat sawo matang Senja. Desiran ombak di laut yang diterjang kapal jadi simfoni lain yang mengalun di telinganya. Burung-burung camar yang hilir mudik atau burung bangau yang bahagia mencari mangsanya.

Senja duduk termenung di dek depan kapal, memperhatikan luasnya hamparan laut biru yang selama 2-3 hari ke depan akan jadi makanannya setiap pagi. Pikirannya membayangkan keadaan Jakarta yang mungkin teramat sangat mewah dibanding kotanya yang baru saja ia tinggalkan. Pelukan perpisahan dari Ratvika masih jelas ia rasakan. Tangisan anak itu... masih bisa ia sedu.

Matanya terpejam dan tangannya merentang. Ia merasakan melayang-layang di atas angin dengan dua sayap kecil yang membawa tubuhnya.

"Sedang tidak gila kan, Adik?" seseorang menyahut. Kapten kapal menegur Senja, bukan karena ia dalah berada di dek depan tapi perangainya yang lucu dan aneh.

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang