34-Memoriku Kejam

370 25 2
                                    

Siang hari, hari berikutnya, wajah alam nampak sendu dengan kumpulan awan kelabu yang mendominasi angkasa. Titik-titik air turun dengan derasnya bersamaan dengan  terpaan angin siang yang lumayan kencang dan dinginnya menembus kulit sampai ke tulang. Sambil mengenggam kopi di Pantry dan matanya memandang jauh ke luar, Arkadewi berkontemplasi dengan dirinya sendiri. 

"Kata orang, hujan itu 10% air dan 90% kenangan. Kau setuju?" ucap Goar sambil membuka satu per satu toples kopi, gula, dan krimer sebelum ia mencampur ketiganya dalam cangkir. 

Arkadewi bergeming. Pikirannya melayang jauh, menembus angkasa dan kembali kepada kenangan tentang sang bunda yang keberadaannya entah dimana. 

***

"Bu Ratih, Bu Ratih," teriak Pak Prayitno, Ketua RT 09 keturunan Jawa tulen. Ia memutuskan pindah ke Jambi sekitar 20 tahun yang lalu. Bicaranya sopan jika santai tapi dialek khas orang Jawa tak bisa hilang dari dirinya. "Lihat anakmu nih!" 

Ibu keluar dari rumah dengan tergesa-gesa. Di belakang, masih ada panggangan kue yang belum matang menunggu untuk diurus. "Ya ampun, ada apa ini Pak RT?"

"Lihat ini, anakmu berulah lagi! Masih kecil begini sudah sering mencuri, kalau besar bagaimana?" ucap Pak Prayitno geram. Kumis tebalnya bergerak-gerak ketika ia mengeluarkan kata-kata. Ditentengnya tubuh kecil Senja kembali ke pangkuan sang ibu. 

Senja kecil tak henti mengeluarkan air mata. Ia takut. Sumpah serapah orang dewasa membuatnya cius di hadapan dunia. Senja menangis di bahu ibu yang kemudian menggendongnya pelan. 

"Tapi, apakah anak saya sempat dipukuli orang, Pak?" tanya Ibu khawatir. Ia meraba-raba tubuh Senja, seolah mendeteksi apakah ada luka atau lebam di tubuhnya. 

Pak Prayitno menggeleng. Hatinya perlahan mulai tenang. "Untung saya cepat datang. Mereka sudah ribut dengan sumpah serapah kepada Senja." 

"Maafkan saya, Pak. Maafkan anak saya juga yang sudah buat onar," ucap pelan dan lembut Ibu pada Pak Prayitno. 

Pak Prayitno mengangguk. "Tolong dilihat dan diajari ya, Bu Ratih supaya dia tahu kalau mencuri adalah perbuatan salah dan dosa, walaupun hanya mencuri satu buah mangga dari tukang rujak keliling."

Ibu mengangguk. Ia menahan air mata mendengar perkataan Pak Prayitno yang pelan-pelan berjalan undur diri. Senja kecil menangis menyesali perbuatannya. Di kepalanya, masih terbentang wajah-wajah orang yang tadi memarahinya. Ibu menunduk dan memeluk Senja. 

"Hapus air matamu, nak!" ucap Ibu sambil mengelus kepala belakang Senja sambil memeluknya. 

"Aku minta maaf, ibu. Aku lapar tadi, jadi aku minta sama tukang rujak itu, tapi tidak dikasih. Akhirnya aku ambil dan aku lari," ucap Senja kecil menangis di pelukan ibu. Hangat, itu yang ia rasakan. 

Ibu tersenyum. Ia melepaskan pelukan dan menghadapkan pandang ke wajah lugu Senja. Ibu jarinya menyeka air mata yang menganaksungai di pipinya. 

"Aku minta maaf, ibu jangan marah sama aku," Senja kecil merengek pada ibu. 

Ibu menabahkan hatinya. Ia membenarkan ucapan Pak Prayitno, Senja melakukannya karena ia tak tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah. Ia hanya bergerak karena nafsu laparnya saja. 

"Senja, anak ibu yang kuat dan cantik. Ibu mau tanya, apa yang kamu lakukan itu benar?" 

Senja menggeleng sambil satu tangannya mengucek-ngucek mata.

"Bagus. Kamu tahu kalau mencuri itu salah. Untuk itu, harusnya kamu bagaimana tadi?"

"Aku lapar. Aku harusnya pulang. Di rumah banyak kue," ungkap Senja kecil menjawab pertanyaan ibu.

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang