"Apa aku harus memberikan kesempatan bagi cinta yang bertahan dalam egoisnya diriku? Kalau iya, bisakah seseorang memberikan alasan yang tepat padaku?"
***
Di tengah kantin yang riuh dengan suara bising mahasiswa lain yang saling bercengkrama, Senja masih duduk tenang sambil sesekali tangannya bergerak mengarahkan gelas berisi jeruk nipis hangat ke mulutnya. Matanya tetap fokus dan tertuju pada buku The God of Small Things karya Arundhati Roy yang ia nikmati sejak sejam yang lalu. Tak ada suara riuh yang bisa mengalahkan imajinasi yang sedang berputar di kepalanya.
Karakter Velutha dan Estha sungguh membuatnya terpikat. Bagaimana tidak, perjuangan Velutha dan Estha dalam merobek nilai-nilai adat dan budaya di sekitarnya sungguh luar biasa. Senja membayangkan dirinya menjadi seorang Velutha atau Estha, pastinya dia akan kecut setengah mati. Jangankan melawan adat istiadat di Jambi, melawan kata-kata Bu Apik ia sudah gentar.
Selang 20 menit ia menikmati kisah Velutha dan Estha, suara di kantin mulai gaduh tak terkendali. Senja memalingkan wajahnya dari buku ke arah tas, mengambil ponselnya dan menancapkan headset ke satu lubang di pinggir ponsel. Ia kemudian menyumpal telinga dengan kepala headset dan memainkan satu musik favoritnya. Tangannya kembali mengangkat buku dan matanya fokus menikmati cerita.
Dari kejauhan, Avgi melihat Senja yang sedang duduk sendirian. Wajahnya sumringah. Ia mempercepat langkahnya menyongsong Senja yang sedang diam membaca bukunya. Nafasnya terengah-engah ketika ia duduk di depan Senja. Wajahnya berubah heran, Senja sama sekali tak menyadari keberadaannya. Kacamata diletakkan di tulang hidung, membuat Senja semakin berarti di mata Avgi.
Ia melepas tasnya dan meletakkan di sampingnya. Wajahnya tersenyum. "Hai, Senja. Lagi baca apa?"
Senja diam. Wajahnya tak sama sekali bergerak dari buku.
Avgi melancarkan cara lainnya. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Senja, berharap ia menyadari keberadaanya. Usahanya sia-sia, Senja masih bergeming.
"Hai, Senja..." Avgi mencoba menyapa. Wajahnya mulai mengkerut dan bosan mulu merundungi hatinya. Senja tak merespon sebagaimana yang ia harapkan.
Avgi melakukan cara yang lebih frontal. Tangannya bergerak, lalu menarik buku itu dari tatapan bola mata Senja yang terus bergerak membaca tiap kata yang tertulis.
Senja mulai menatap siapa yang mencoba menarik bukunya. Dilihatnya Avgi sudah tampil dengan tersenyum di hadapannya. Ia cepat-cepat membebaskan telinganya dari pengaruh musik easy listening yang sedari tadi menemaninya membaca. "Eh, kamu, Gi! Sudah lama di sini? Kok aku bisa nggak sadar ya kamu datang?"
"Hmmm... Sudah sejam lalu sepertinya," ujar Avgi sambil mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
"Masa? Lalu apa kamu hanya diam di situ? Tak memanggilku gitu?"
Avgi mengangguk. "Diam sambil melihat pelangi."
"Pelangi? Dimana ada pelangi? Bukankah pelangi itu muncul setelah hujan?" ujar Senja sambil mendengak memperhatikan awan cerah, mencoba mengkonfirmasi informasi yang ia dapat dari Avgi.
"Tidak juga. Pelangi itu ada di wajahmu, Senja. Sebentar..." ujar Avgi sambil pelan-pelan melepas kacamata dari wajah wanita yang ada di hadapannya. Melipat kedua batang di kedua sisinya, lalu meletakkannya di atas buku yang sedari tadi dibaca Senja. "Nah, sekarang lebih terlihat jelas. Pelangi itu berkibar-kibar di wajahmu, bahkan dari kejauhan."
Hati Senja mendadak berdebar. Entah sihir apa yang dimiliki Avgi karena Senja selalu merasa terpukau atas perangai dan kata-kata yang diucapkan Avgi. Ia hanya tersenyum kecil, lalu mengerakkan wajahnya lebih dekat ke hadapan Avgi. "Apa kau pernah ditampar wanita karena menggombal? Aku harap tak pernah terbersit di pikiranmu kalau aku akan termakan rayuan murahan itu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]
ChickLit[Long List Wattys 2018] Arkadewi Senja Dwiyana terus menutup dirinya dari cinta. Baginya, cinta hanya membuatnya terluka hingga jadi tak berdaya. Hanya Avgi, seorang pria yang sebelumnya dianggap sombong, yang mampu meluluhkan dinding keras hati Sen...