07-Bulan Merindu

665 45 23
                                    

Matahari sedang mengangkasa dengan cahayanya yang riang menerpa kulit Senja yang berjalan di halaman universitas. Jeans berwarna biru muda dan kemeja putih hitam khas baju tahanan di film-film barat membalut tubuhnya. Rambutnya tak lagi dibiarkan tergerai, ia mengikatnya dua bak anak desa yang sedang melancong di area kampus. 

Ia berjalan tak memperhatikan langkahnya. Ia justru sibuk mengacak-acak tas mencari dimana buku antologi puisi Chairil Anwar miliknya berada. Seingatnya, ia menaruhnya di tas dan tak pernah ia keluarkan dimanapun. Tak juga ia pinjamkan kepada siapapun, termasuk pada Birra atau Goar. 

Langkahnya pelan-pelan menetap di halaman kampus yang tersusun atas konblok-konblok. "Aduh, dimana ya? Kok nggak ada sih?" ujarnya menggerutu diri sendiri. Matanya masih mencoba jeli dengan membuka satu per satu kantong tas, berharap ia menemukannya. 

Sudah ketiga kalinya ia memeriksa tasnya, namun tak ditemukan buku itu. Ia lantas putus asa dan mulai pasrah jika buku itu hilang. Terpaksa, ia harus menabung lagi untuk membeli buku yang sama. 

"Senja... Hey, Senja..." ujar seseorang memanggil dari arah belakangnya. Kepalanya tertoleh mencoba mengetahui siapa yang memanggil namanya dengan begitu lantang. Yang ia tahu, Senja bukanlah nama yang populer di universitas, tapi kenapa ada yang memanggilnya. Nama Senja masih kalah beken dengan nama Shinta atau Ayesha. 

"Hai..." ujar seorang lelaki mendekati dirinya. Itu Avgi yang mendekat dengan senyum lebar, seakan mencoba menghilangkan sosok menyebalkan dan angkuh yang selama ini disematkan Senja padanya. Nafasnya berat terengah-engah karena berlari mengejar langkah Senja. "Akhirnya kita ketemu lagi. Aku senang kita bisa ketemu lagi."

"Hah? Senang? Kenapa begitu?" ujar Senja sambil menunjukkan wajah kebingungan dengan sikap Avgi yang berubah seratus delapan puluh derajat. Di matanya, Senja seperti melihat sosok lain dari seorang Avgi. "Lalu, kenapa kamu tahu namaku? Jelas-jelas, kemarin aku yang menang dan aku tak memberitahukan namaku kepadamu."

"Bu Apik yang memberitahukan padaku. Beliau bilang aku layak mendapatkan hadiah namamu. Baiklah, aku ingin berkenalan secara orang biasa berkenalan," ujar Avgi sambil mengarahkan telapak tangannya kepada Senja. Matanya terlihat tulus. "Namaku Avgi. Namamu?"

"Sebentar, kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Aku pikir angkuh, sombong, dan jumawa itu adalah semua nama belakangmu. Kenapa sekarang justru muncul dengan senyum dan keramahan. Ada sesuatu yang aneh, kamu tak punya maksud lain terhadapku kan?" ujar Senja yang kembali dengan kecurigaan yang mendalam kepada Avgi. Kecurigaan membuat Avgi menjadi tak nyaman. 

"Wanita, wanita. Tak bisakah kalian semua sedetik saja tidak curiga pada kami para lelaki? Asal kau tahu, Senja... Aku adalah lelaki yang ramah dan murah senyum. Lagipula, aku datang untuk menjadi temanmu, tidak lagi menjadi lelaki menyebalkan yang menantang kemampuanmu berpuisi. Bodohnya, lelaki itu justru kalah. Jadi, boleh aku berkenalan?" ujar Avgi panjang lebar mencoba menjelaskan duduk hati dan maksudnya kepada Senja yang masih terlihat membentengi diri. 

Sekejap, Senja tergelak dalam sedikit tawa mendengar kata-kata Avgi yang justru memojokkan diri sendiri. "Nah, kamu sadar kalau kamu itu menyebalkan? Bagus kalau kamu sadar!" ujar Senja membalas Avgi dengan sindiran. Tangan Avgi masih terentang, menantikan sambutan tangan Senja. "Aku Senja, wanita hebat yang mengalahkanmu kemarin. Aku juga yang membuktikan bahwa kesombonganmu tak ada gunanya, Avgi."

Avgi tersenyum. "Wow, pertama kalinya kamu memanggil namaku. Sebuah kehormatan," ujarnya sambil menatap mata lentik yang dimiliki Senja. Dua ikatan rambut Senja semakin membuat wajahnya teduh dalam tatapan Avgi. "Selamat juga atas kemenangan nona Senja kemarin. Aku belum sempat mengucapkan itu." 

Senja melepaskan jabat tangan itu, lalu berpindah dengan memukul bahu Avgi. "Lebay kamu. Buatku, perlombaan kemarin itu hanyalah sebagian kecil pelajaran berharga yang bisa aku dapat. Berpuisi itu bukan hanya soal sebagai mana bagusnya rangkaian kata-kata, tapi makna yang ada di dalamnya. Menulis puisi ibarat menggali emas..." ujar Senja sambil langkah kakinya kembali menapak pada susunan konbok di halaman kampus. Avgi berjalan mengiringinya dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. 

Senja Dalam Ingatan [Completed] [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang